Artikel oleh Octaviana Dina
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, riset berarti penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara
sistematis, kritis dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian,
mendapatkan fakta yang baru, atau penafsiran yang lebih baik. Riset mutlak
dilakukan dalam penulisan-penulisan non fiksi, terutama penulisan ilmiah,
karena jika tidak, maka kesahihan tulisan akan dipertanyakan jika tidak
didukung oleh fakta-fakta.
Sebaliknya, dalam
penulisan fiksi perlukah pengarang melakukan riset? Menurut pendapat saya, hal
itu perlu dan penting dilakukan. Sekalipun fiksi bersifat fiktif, yakni tidak
nyata atau hanya terdapat dalam khayalan, tidak dapat dipungkiri bahwa fiksi
sesungguhnya juga berdiri di atas fakta-fakta yang ada dalam realita kehidupan
sehari-hari. Dengan kata lain, imajinasi pengarang yang dituangkan dalam fiksi
pada dasarnya berangkat dari realita yang ditemuinya dalam kehidupannya.
Dalam fiksi (cerpen, novel,
dan sebagainya) pengarang menciptakan sebuah dunia tersendiri; realita
tersendiri. Di dalamnya ada tokoh, tempat, waktu, peristiwa dan lainnya yang
saling menjalin membangun cerita yang menjadi esensi dunia ciptaannya tersebut.
Untuk itulah pengarang membutuhkan fakta sebagai kerangka penopang imajinasi
pengarang dalam membangun cerita rekaannya agar ceritanya itu menjadi kokoh. Dan
untuk mendapatkan fakta-fakta tersebut pengarang perlu melakukan riset. Besar
kecil atau berat ringannya riset tergantung dari apa yang hendak dibuat sang
pengarang. Jika ingin membuat fiksi roman sejarahan berlatar belakang Perang
Dunia II misalnya, tentu saja perlu melakukan riset lebih mendalam menyangkut
fakta-fakta sejarah terkait perang tersebut.
Dengan fakta yang
diperoleh dari riset sebelum penulisan fiksi, maka karya fiksi tersebut akan
menjadi kuat dan menyakinkan. Penyair kondang Sutardji Calzoum Bachri dalam
esainya yang berjudul Penyair dan Telurnya (yang terdapat dalam buku Hijau
Kelon dan Puisi 2002 terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2002) menyatakan bahwa
imajinasi yang ‘bohong’ sekalipun membutuhkan fakta dan realitas untuk
kondisinya agar bisa disebut bohong.
Dengan ditopang fakta
yang akurat yang didapat dari riset maka realita imajinatif yang disuguhkan
pengarang dalam karya fiksinya tidak akan kehilangan logika. Dengan demikian
cerita pun menjadi menyakinkan. Jika tidak, maka cerita akan cacat. Bagi
pembaca yang kritis, cacat ini akan sangat mengganggu dan pada akhirnya akan
merusak reputasi karya tersebut sekaligus pengarang yang bersangkutan.
Sebagai contoh
sederhana, dalam sebuah cerita dikisahkan tokoh utamanya hidup di tahun 2007
dan berusia 40 tahun. Si tokoh tersebut lalu diceritakan tengah mengenang masa
kecilnya tatkala ia berusia 7 tahun. Lantas si tokoh itu mengatakan bahwa ia
ketika itu amat menyukai permainan game watch. Jelas ini menyalahi logika
karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Jika tokoh cerita tersebut berusia
40 tahun di tahun 2007 berarti ia lahir pada tahun 1967. Itu artinya ia berumur
7 tahun pada tahun 1974. Apakah jenis permainan game watch sudah ada di tahun
itu? Tentu saja belum ada!
Contoh
lain lagi adalah novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Mengapa novel itu
bisa begitu menghebohkan dunia? Menurut saya, itu karena kelihaian sang pengarang
mengolah fakta begitu rupa dalam imajinasinya sehingga pembaca sulit membedakan
antara fakta yang sesungguhnya dan fakta buatan si pengarang alias imajinasi. Orang
pun menjadi heboh lantaran terjebak dalam persepsi bahwa The Da Vinci Code
adalah kebenaran yang di-novel-kan; padahal karya itu hanyalah fiksi belaka
yang notabene tentulah bersifat fiktif. Saya yakin Dan Brown melakukan riset
yang serius, teliti dan amat mendalam sebelum menulis karyanya itu.
Kesimpulannya,
riset itu penting dalam penulisan fiksi. Dengan melakukan riset sebelum
menulis, maka cerita yang kita tulis akan menjadi kokoh karena
peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di dalamnya berjalan sesuai logikanya dan
tidak asal jadi karena dilandasi oleh fakta yang ada.
Dengan
begitu, sebagai pengarang kita sudah bertanggungjawab membuat karya fiksi yang
baik, yakni karya yang tidak melecehkan intelektualitas publik pembaca.
dimuat dalam situs penulislepas.com tgl 3
Juli 2007 dan dalam situs belajarmenulis.com pada Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar