2 Agustus 2011

RISET DALAM PENULISAN FIKSI


Artikel oleh Octaviana Dina


    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, riset berarti penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara sistematis, kritis dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau penafsiran yang lebih baik. Riset mutlak dilakukan dalam penulisan-penulisan non fiksi, terutama penulisan ilmiah, karena jika tidak, maka kesahihan tulisan akan dipertanyakan jika tidak didukung oleh fakta-fakta.

    Sebaliknya, dalam penulisan fiksi perlukah pengarang melakukan riset? Menurut pendapat saya, hal itu perlu dan penting dilakukan. Sekalipun fiksi bersifat fiktif, yakni tidak nyata atau hanya terdapat dalam khayalan, tidak dapat dipungkiri bahwa fiksi sesungguhnya juga berdiri di atas fakta-fakta yang ada dalam realita kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, imajinasi pengarang yang dituangkan dalam fiksi pada dasarnya berangkat dari realita yang ditemuinya dalam kehidupannya.

   Dalam fiksi (cerpen, novel, dan sebagainya) pengarang menciptakan sebuah dunia tersendiri; realita tersendiri. Di dalamnya ada tokoh, tempat, waktu, peristiwa dan lainnya yang saling menjalin membangun cerita yang menjadi esensi dunia ciptaannya tersebut. Untuk itulah pengarang membutuhkan fakta sebagai kerangka penopang imajinasi pengarang dalam membangun cerita rekaannya agar ceritanya itu menjadi kokoh. Dan untuk mendapatkan fakta-fakta tersebut pengarang perlu melakukan riset. Besar kecil atau berat ringannya riset tergantung dari apa yang hendak dibuat sang pengarang. Jika ingin membuat fiksi roman sejarahan berlatar belakang Perang Dunia II misalnya, tentu saja perlu melakukan riset lebih mendalam menyangkut fakta-fakta sejarah terkait perang tersebut.

    Dengan fakta yang diperoleh dari riset sebelum penulisan fiksi, maka karya fiksi tersebut akan menjadi kuat dan menyakinkan. Penyair kondang Sutardji Calzoum Bachri dalam esainya yang berjudul Penyair dan Telurnya (yang terdapat dalam buku Hijau Kelon dan Puisi 2002 terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2002) menyatakan bahwa imajinasi yang ‘bohong’ sekalipun membutuhkan fakta dan realitas untuk kondisinya agar bisa disebut bohong.

    Dengan ditopang fakta yang akurat yang didapat dari riset maka realita imajinatif yang disuguhkan pengarang dalam karya fiksinya tidak akan kehilangan logika. Dengan demikian cerita pun menjadi menyakinkan. Jika tidak, maka cerita akan cacat. Bagi pembaca yang kritis, cacat ini akan sangat mengganggu dan pada akhirnya akan merusak reputasi karya tersebut sekaligus pengarang yang bersangkutan.

     Sebagai contoh sederhana, dalam sebuah cerita dikisahkan tokoh utamanya hidup di tahun 2007 dan berusia 40 tahun. Si tokoh tersebut lalu diceritakan tengah mengenang masa kecilnya tatkala ia berusia 7 tahun. Lantas si tokoh itu mengatakan bahwa ia ketika itu amat menyukai permainan game watch. Jelas ini menyalahi logika karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Jika tokoh cerita tersebut berusia 40 tahun di tahun 2007 berarti ia lahir pada tahun 1967. Itu artinya ia berumur 7 tahun pada tahun 1974. Apakah jenis permainan game watch sudah ada di tahun itu? Tentu saja belum ada!

        Contoh lain lagi adalah novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Mengapa novel itu bisa begitu menghebohkan dunia? Menurut saya, itu karena kelihaian sang pengarang mengolah fakta begitu rupa dalam imajinasinya sehingga pembaca sulit membedakan antara fakta yang sesungguhnya dan fakta buatan si pengarang alias imajinasi. Orang pun menjadi heboh lantaran terjebak dalam persepsi bahwa The Da Vinci Code adalah kebenaran yang di-novel-kan; padahal karya itu hanyalah fiksi belaka yang notabene tentulah bersifat fiktif. Saya yakin Dan Brown melakukan riset yang serius, teliti dan amat mendalam sebelum menulis karyanya itu.

        Kesimpulannya, riset itu penting dalam penulisan fiksi. Dengan melakukan riset sebelum menulis, maka cerita yang kita tulis akan menjadi kokoh karena peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di dalamnya berjalan sesuai logikanya dan tidak asal jadi karena dilandasi oleh fakta yang ada.

        Dengan begitu, sebagai pengarang kita sudah bertanggungjawab membuat karya fiksi yang baik, yakni karya yang tidak melecehkan intelektualitas publik pembaca.

dimuat dalam situs penulislepas.com tgl 3 Juli  2007 dan dalam situs belajarmenulis.com pada Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar