18 Agustus 2016

Eklampsi Tetap Bisa Menyusui


Pekan pertama di bulan Agustus ini diperingati sebagai Pekan ASI Dunia atau World BreastfeedingWeek lho. Maka, untuk meramaikan dan berpartisipasi di sebuah lomba blog tentang ASI, saya akan berbagi kisah saya saat menyusui kedua putri saya. Semoga postingan ini bisa bermanfaat yah, aamiin... ^___^

Dulu, saya kira menyusui itu mudah, naluriah. Setiap perempuan yang punya payudara pasti bisa. Ternyata tidak sesederhana itu. Bukan hanya bermodal payudara saja, tapi juga kombinasi dari niat, tekad, ilmu, dan dukungan.

Tujuh tahun yang lalu, saya melahirkan putri pertama saya diusia kandungan menginjak 37 minggu. Saat itu saya terkena preeklampsia, sehingga saya harus melahirkan lewat operasi cesar. Hampir 5 jam setelah operasi, saya mengalami eklampsia. Saya kejang, lalu hilang kesadaran.

Saat sadar, saya tengah dirawat di ICU rumah sakit. Setelah kondisi saya membaik, saya dipindahkan ke kamar rawat inap. Dengan kondisi penglihatan yang kabur, rasanya sedih sekali saat menggendong bayi mungil saya yang lahir dengan berat 2,45 kg itu. Saya tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, dan berlangsung selama hampir 2 bulan.

Lalu, saya baru tahu bahwa bayi saya telah diberikan sufor. Kurangnya ilmu dan dukungan dari rumah sakit, membuat suami saya menyetujuinya. Padahal saya tak sadarkan diri belum sampai 24 jam. Bukankah bayi bisa bertahan untuk tidak mengkonsumsi apapun selama 72 jam atau 3 hari dari sejak kelahirannya.

Alasan pemberian sufor lainnya, karena kondisi saya yang juga butuh banyak istirahat. Saat itu, suami dan keluarga lebih fokus pada pemulihan kesehatan saya. Teringat salah satu kerabat yang tak tertolong nyawanya karena terkena eklampsia. Apalagi, setelah 3 hari pulang ke rumah, bekas operasi saya sempat bocor. Untuk menyusui semakin terasa berat, bekas operasi yang nyeri semakin terasa nyeri. Terlebih bayi saya juga menolak untuk disusui, walaupun sudah berbagai posisi dicoba.

Akhirnya, ASI saya membatu, karena tak pernah dikeluarkan saya terkena radang payudara atau mastitis. Dikemudian hari saya baru sadar, kenapa dulu ASI saya tidak diperah dan dimasukkan ke dalam botol susu. Sehingga bayi saya bisa tetap mendapatkan ASI. ASI yang membatu membuat saya mengalami panas tinggi. Khawatir akan risiko terjadinya kejang lagi, saya akhirnya dilarikan ke rumah sakit dan rawat inap selama 1 hari. Payudara saya dikompres dengan air hangat yang dimasukkan ke dalam botol dan diterapi pijat.

Oleh perawat yang menerapi, saya diberikan suntikan semangat dan juga berbagai pengetahuan tentang menyusui. Alhamdulillah setelah pulih, saya berniat untuk bisa menyusui langsung bayi saya. Berkat dukungan dari suami dan keluarga juga akhirnya saya berhasil.

Ketika sedang tidak bekerja, suami selalu mendampingi saya saat menyusui dan ia juga selalu menyemangati, apalagi di malam hari saat harus berjuang melawan kantuk. Saya juga harus menahan rasa nyeri di bekas operasi dan rasa tidak nyaman lainnya, termasuk saat puting lecet (cracked nipple).

Saya sudah berniat dan bertekad. Bahkan, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya sebagai seorang pengajar. Saya berusaha untuk fokus pada pemulihan kesehatan dan keberhasilan dalam memberikan ASI. Tak sampai 2 bulan, saya berhasil. Bayi saya akhirnya bisa full ASI hingga usia 2 tahun.

Bersyukur sekali waktu itu saya tidak menyerah. Bersyukur sekali ada suami dan keluarga yang mendukung, baik mensupport saya secara fisik dengan memberikan asupan yang bergizi, waktu istirahat, dan bantuan dipekerjaan domestik. Maupun secara psikis, sehingga proses pemulihan dan menyusui menjadi lebih baik. Bersyukur sekali juga saya menemukan komunitas yang mensupport ASI, sehingga ilmu saya semakin bertambah dan semangat saya tetap menyala.

5 tahun kemudian, saya kembali melahirkan seorang bayi lewat operasi cesar. Secara medis, kehamilan dan kelahiran anak kedua saya ini berisiko untuk terkena eklampsia kembali. Tapi, Alhamdulillan itu tidak terjadi. Saya dan bayi saya sehat.

Dengan semakin banyaknya ilmu yang sudah saya kantongi, Saya berhasil memberikannya IMD, ASI ekslusif, dan menyusuinya hingga usianya saat ini 2 tahun 2 bulan. Sekarang saya sedang dalam proses menyapihnya. Semoga saya berhasil menyapih dengan cara weaning with love, semoga saja. Bagaimana pun, menyapih anak itu bikin patah hati, bikin kita kangen masa-masa menyusui lagi. Bukan begitu?. ^____^


4 komentar:

  1. semoga sukses weaning with lov-nya ya mba... Puas ya mba rasanya kalo sudah berhasil memberikan ASI

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... iya Mbak, Alhamdulillah puas banget :)

      Hapus
  2. Amin.. asyikk ada yang mau wisuda lagi ini..
    Biasanya begitu ya mba, kurangnya ilmu dan dukungan tenaga medis serta keluarga membuat gagal di tahap awal. Semoga banyak yang terinspirasi dari tulisan ini dan belajar banyak bahwa ini tak sekadar soal menyusui, tapi juga kombinasi dari niat, tekad, ilmu, dan dukungan.Suka deh kutipan yng ini.,. :-)

    BalasHapus