Semakin mendekat, bukan menjauh, dan selalu datang tepat waktu. Apakah itu? jawabannya jelas sekali bahwa itu adalah maut, kematian. Sebuah tapal batas kehidupan, karena setiap yang bernyawa pasti akan mati. Nah, duhai diri, apakah sudah mempersiapkan segala bekal yang akan kita bawa kelak saat maut datang menghampiri?, sungguh maut tak memandang tua muda, kaya miskin, atau sakit dan sehat.
Kematian adalah sebaik-baiknya nasehat. Mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua datang dan pergi dari awal hingga akhir terus berganti sampai kiamat datang. Duhai diri, apa yang dirasa saat mendengar sebuah kabar kematian?. Bisa jadi hati ini bergetar, rasa takut datang menyelinap, memporak-porandakan hati yang selalu merasa belum siap. Lantas, apa yang kita perbuat?. Kebanyakan kita, hanya hanyut sesaat, lalu kembali tenggelam dalam sebuah rutinitas tanpa ruh. Ruh kita kembali lupa bahwa kita juga akan menyusul mereka yang telah tiada. Bahwa kita akan didatangi oleh sesuatu yang tak pernah ingkar janji, yaitu MAUT.
Saya ingat, dulu saat mendengar sebuah kabar kematian, maka saya akan merasa sangat ketakutan. Bukan takut karena kematian itu kelak pasti akan datang kepada saya, tapi takut untuk melihat jenazahnya. Seandainya saya mengenalnya, maka akan terbawa-bawa hingga ke alam mimpi. Lama kelamaan, tepatnya saat saya masih kuliah strata 1, terjadi perubahan besar pada diri saya. Saat itu, saya mendapatkan kabar bahwa tante saya (adik ayah), meninggal setelah melahirkan anak keduanya. Saya terkejut, tak percaya, dan merasakan amat sangat sedih. Bisa dibilang, saya dekat dengannya, semenjak saya kecil.
Tante saya tinggal di daerah yang bernama Bangkinang, tapi masih jauh ke dalam (desa). Saat melahirkan, ia dibantu oleh mertuanya. Persalinan berjalan lancar, namun beberapa saat kemudian terjadi kejang (eklamsia). Ia dilarikan ke rumah sakit, tapi sebelum sampai di rumah sakit, ia telah di panggil Allah. Saat itu, 4 orang keponakannya, memangku jenazahnya saat ia dimandikan. Hey, keponakannya itu termasuk saya. Luar biasa bukan, saya yang sebelumnya amat sangat takut dengan jenazah tapi mendadak memiliki keberanian yang begitu besar.
Dan, salah satu sepupu saya yang ikut memandikan jenazah, kini juga telah tiada. Sepupu saya tersebut meninggal saat melahirkan anak ketiganya, ia juga eklamsia. Bahkan, Allah mengambilnya beserta anak yang dilahirkannya. Lagi-lagi saya turut serta dalam memandikan jenazahnya. Demikian juga saat satu persatu orang terdekat saya meninggal dunia, katakutan terhadap jenazah itu tidak lagi ada, yang ada hanyalah takut saat menyadari bahwa bekal yang kelak akan saya bawa tak seberapa.
Duhai diri, masih saja sering terlena oleh dunia. Lagi-lagi lupa dan merasa bahwa kematian itu masih lama. Padahal, saya pernah merasa begitu amat sangat dekat dengan kematian, saat saya melahirkan Nai, saya kejang (eklamsia) dan yang saya rasakan adalah bagaimana sulitnya saat saya mencoba untuk bernafas, bagaimana rasanya saat oksigen begitu sulit memenuhi rongga paru-paru saya. Saat saya merasakan sakit yang teramat sangat. Saat saya merasa tengah berputar dilorong yang begitu dalam. Tapi Allah masih memberikan saya kesempatan hidup sampai saat ini.
Astaghfirullah... semoga diri ini senantiasa selalu mengingat mati, karena ingat mati akan melembutkan hati. Salah satu cara yang bisa dilakukan saat kita mulai lalai adalah dengan mengingat bahwa saudara-saudara kita yang telah mendahului kita, berharap untuk diberikan waktu di dunia lagi walau hanya sebentar, agar bisa memaksimalkan ibadahnya kepada Allah. Bagaimana dengan kita yang masih memiliki waktu di dunia, apakah kita akan menyia-nyiakan waktu kita begitu saja?.
*Al-Fatiha buat Ustadz Jefri Al-Buchori, Al Habib Abu Bakar Bin Thoha Assegaf, Al Habib Agil Al-Athos, Al Habib Hamzah Bin Syech Abu Bakar Bin Salim, Abuya Hamzah, dan KH.Dalili Abd Mu'thy.
gambar pinjem dari sini
Reminder
BalasHapusIyaaaaa ^_^
BalasHapus