”Sahabat mampu membuat kita asing dan terasing”
Lho, kok gitu? Aneh yah. Mungkin itu beberapa komentar yang akan terlintas dipikiran seseorang ketika membaca quote saya tersebut. Tapi sebaiknya Anda jangan berpikir negatif dulu. Asing adalah suatu perasaan saat saya merasa bahwa ternyata ada begitu banyak perbedaan diantara kami. Bukankah persahabatan hadir bukan melulu karena adanya kesamaan makanan kesukaan, jenis musik, warna, atau tempat nongkrong. Sahabat sejatinya adalah seseorang yang bisa memposisikan dirinya dengan tepat. Ia tidak selalu berada dipihakmu, ia bisa saja berada di posisi yang bersebrangan. Ia tetap menjadi dirinya sendiri, namun tetap bisa saling menghargai. Ia tidak selalu membenarkan, tapi juga bisa menyalahkan.
Asing bukan?, begitulah. Bukankah sejatinya seorang sahabat itu adalah seseorang yang mampu mengingatkan kita dalam kebaikan. Bersama-sama untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Selalu ada dalam kondisi apapun, bukan hanya saat hingar-bingar tawa tapi juga saat kita membutuhkan bahu untuk tempat menangis. Sahabat bukanlah seseorang yang ada di masa lalu kita, melainkan seseorang yang selalu ada dan tidak pernah meninggalkan kita.
Bagaimana dengan terasing?, saya pribadi membuat sebuah perbedaan antara seorang sahabat dengan seorang teman. Sahabat lebih memiliki arti khusus, sedangkan teman lebih luas. Ibarat kata, kita bisa berteman dengan siapapun tapi hanya memiliki beberapa atau satu orang sahabat saja. Bersama sahabat, ada begitu banyak waktu yang terlewati, ada begitu banyak cerita yang terangkai, bahkan begitu banyak tangis yang mengalir. Kita menjadi sering terasing dari dunia sekitar.
***
Namanya Tiffani Fitria, kulitnya putih bahkan cendrung pucat. Saat pertama kali berkenalan dengannya, saya kira dia keturunan bule alias orang barat, eh ternyata dia keturunan Sumatra Barat hehehe…
Waktu itu, dia berstatus anak baru, tepat saat diawal kelas 2 SMP. Saya menawarkan tempat duduk di sebelah saya yang kosong, sehingga kami akhirnya duduk sebangku. Entahlah, pertemanan itu mengalir begitu saja, rasanya kami begitu cocok, walaupun kami punya perbedaan yang begitu banyak. Mungkin, karena kami sama-sama satu-satunya anak perempuan dikeluarga.
Kalau soal kekompakan, wah jangan ditanya. Kompak belajarnya, Kompak jalan-jalannya, kompak usilnya, dan lain-lain. Salah satu kenangan kami sewaktu SMP dulu yang begitu berkesan, bahkan saya bisa ketawa sendiri kalau ingat keusilan kami adalah sewaktu pelajaran matematika, dua orang teman yang duduk tepat dibelakang kami, tengah asyik ngoceh tentang guru matematika kami yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sebut saja namanya Pak Jack. Pak Jack memakai kacamata yang bertengger di ujung hidungnya, kepalanya hanya ditumbuhi sedikit rambut-rambut halus yang berada di sekeliling kepala dan minyisakan lahan kosong di atasnya. Suara Pak Jack juga sangat kecil, kebetulan waktu itu kami duduk di bangku no 2 dari belakang.
Saking serunya menyimak ocehan teman kami tersebut, tanpa sadar saya dan Fani ikut tertawa dan tawa itu ternyata begitu keras, hingga terdengar ke depan. Selanjutnya bisa ditebak, kami terkena teguran dari Pak guru. Lalu, sialnya malah saya yang dipanggil ke depan. Saya diminta untuk menyelesaikan soal yang ada di papan tulis. Terang aja saya nggak bisa, wong saya nggak nyimak (nyimak yang lain hihihi). Apalagi, otak saya benar-benar berasa buntu kalau udah berurusan dengan matematika, biasanya selalu dapet nilai yang pas-pasan banget. Tapi, untungnya waktu itu saya diselamatkan oleh bunyi bel tanda istirahat, yeeeeey... :D
Persahabatan nggak melulu juga tentang sesuatu yang indah-indah. Ada kalannya kami bisa bertengkar hebat, ngambek, dan akhirnya nggak saling tegur. Bahkan terkadang untuk masalah yang sepele *ya iyalah namanya juga anak SMP
Tapi, nggak pernah berlangsung lama. Setelahnya kami kembali berbaikan, siapapun itu yang memulainya. Yang jelas, kami semakin bermetamarphosis ke arah yang lebih baik.
Sayangnya, saat kami lulus dari SMP, kami terpisah. Saya melanjutkan SMA yang nggak jauh dari rumah saya, dan Fani juga demikian. Rumah kami sangat berjauhan, bisa dibilang dari ujung ke ujung. Tapi, bagaimanapun komunikasi tetap terjalin. Termasuk saat Fani melanjutkan ke perguruan tinggi di Yogyakarta, sedangkan saya melanjutkan perguruan tinggi tetap di Pekanbaru (mak gue nggak mau pisaaaah).
Seiring berjalannya waktu, kami menjadi semakin dewasa, tak hanya fisik tapi juga pola pikir. Alhamdulillah juga Allah memberikan hidayah kepada kami dan kami saling mengingatkan untuk tetap istiqomah. Ya, sekali lagi saya katakan bahwa sejatinya seorang sahabat itu adalah seseorang yang mampu mengingatkan kita dalam kebaikan. Bersama-sama untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Bener apa betul? ^_^
Sekarang kami berada di kota yang sama, Pekanbaru. Sampai sekarang juga, persahabatan kami masih baik. Kami masih sering saling mengunjungi, pengajian bareng, telponan ngalor ngidul, sms-an, atau saling komen di FB. Saya selalu nyaman saat bersamanya, selalu bisa jadi diri sendiri. Saya selalu mendoakan yang terbaik baginya, karena walaupun sahabat, kami tetap memiliki takdir masing-masing. Semoga Fani lekas menemukan sisian kesehariannya, Aamiin daaaaah..
Tiffani dan saya
“Tulisan ini diikut sertakan dalam GA “Siapa Sahabatmu?” pada blog senyumsyukurbahagia.blogspot.com, hidup bahagia dengan Senyum dan Syukur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar