Terkadang, rasa rindu untuk kembali mengajar itu datang. Melemparkan saya pada memori ketika pertama kali mengajar dulu, setelah menyelesaikan pendidikan S1. Pengalaman pertama memang tidak terlupakan, termasuk pengalaman pertama kali mengajar, kendati saya hanya 1 tahun mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) itu, tapi banyak pengalaman berharga yang saya peroleh. Kali pertama saya untuk mengaplikasikan ilmu yang telah saya gali di bangku perkuliahan.
Setelah resign mengajar di SMK, sembari melanjutkan kuliah S2, saya mengajar lagi sebagai dosen di sebuah sekolah tinggi. Kalau ditanya manakah yang lebih enak, mengajar anak-anak sekolah ataukah mahasiswa, maka saya akan menjawab keduanya enak, ada suka dukanya tersendiri. Namun, saya akhirnya memutuskan untuk resign lagi dan sampai sekarang menjadi ibu rumah tangga saja, sembari menulis dan mengurus usaha kecil-kecilan.
Jadi, tak heran kalau rasa rindu itu datang. Rindu untuk berdiri di depan kelas, menyaksikan tatapan-tatapan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu, diskusi-diskusi ringan, ah... memang dari dulu saya bercita-cita untuk menjadi seorang pengajar. Tapi, jangan salah sangka, sampai saat ini saya juga sangat menyukai peran saya sebagai seorang ibu rumah tangga tanpa aktivitas luar. Saya tetap mempunyai siswa didik, yaitu putri saya sendiri.
Banyak yang bertanya, kapan saya akan kembali mengajar, karena menurut mereka sangat disayangkan sekali, mengingat latar belakang pendidikan saya. Insya Allah saya akan mengajar kembali, tapi belum tahu kapan. Lagipula, ilmu saya tetap bisa ditransfer melalui tulisan, yang semoga saja bisa bermanfaat bagi pembacanya.
Baiklah temans, di bawah ini ada tulisan lawas tentang pengalaman saya mengajar pertama kali dulu, tahun 2007. Semoga ada ibroh yang bisa diambil dari pengalaman saya tersebut :)
---------------------------------------------------------------------------------------------
Hari itu adalah hari pertama
saya mengajar. Seperti biasa
saat sore hari akan ada obrolan hangat antara saya dan Ibu. Lalu mengalirlah
cerita tentang pengalaman mengajar pertama saya hari ini. Ibu tersenyum,
sepertinya beliau mulai paham kenapa tadi saya pulang dengan wajah yang sedikit
ditekuk. Padahal sewaktu berangkat tadi pagi, saya begitu ceria dan
bersemangat. Apakah ekspresi itu mengendap karena lelah atau menguap karena
panas. Tidak.
Tidak
masalah, barangkali mereka hanya bercanda. Barangkali juga itu adalah lelucon
”selamat datang” dari mereka untuk guru baru seperti saya. Namun, saat saya
memulai pelajaran, mereka masih tidak serius dan menganggap saya seperti bukan
seorang guru saja. Sebahagian besar dari mereka sama sekali tidak memperhatikan
saya. Ada yang sibuk dengan handphone, baca komik, ngobrol, tidur, dan
keluar-masuk kelas.
Saya
masih memaklumi, perlahan saya akan mencoba untuk membuat ”kesepakatan” selama
saya sedang mengajar. Saya masih optimis bahwa saya mampu mengatur kelas ini
dengan baik dan menciptakan suasana kondusif dalam kegiatan pembelajaran. Saya
akan mengaplikasikan ilmu yang sudah saya gali saat masih duduk di bangku perkuliahan.
Selanjutnya apa yang terjadi,
saat waktu istirahat tiba, saya bergabung dengan para guru di ruangan majlis
guru. Di sana ada tiga orang guru yang baru mengajar, sama seperti saya,
selebihnya guru ”senior”. Kami saling berbagi mengenai pengalaman mengajar
pertama hari ini. Ternyata, untuk ketiga orang guru baru, sama sekali tidak ada
masalah. Saya hanya tersenyum ketika tiba giliran saya yang harus bercerita.
Salah satu guru ”senior” maklum, dia akhirnya menceritakan tentang kondisi
kelas dan karakter siswa di kelas tersebut. Wah ternyata saya ditempatkan di
kelas yang ”luar biasa”. Kelas yang dominan diisi oleh siswa-siswa yang dicap
sebagai troublemaker.
Wah, perjuangan berat ini.
Sepertinya tantangan memang sudah di depan mata. Saya sadar betul akan
konsekuensi dari pilihan yang telah saya ambil. Memilih untuk mengajar di salah
satu Sekolah Menengah Keguruan (SMK) Swasta, lalu ditempatkan di jurusan dan
kelas yang ”istimewa”. Belum lagi dengan jadwal mengajar selama 6 hari dan
total 29 jam.
Sebenarnya terselip juga
sedikit rasa ragu, membayangkan perjuangan berat yang harus dilalui, mengingat
beberapa orang guru sebelumnya menyerah kalah dan mengibarkan bendera putih.
Tapi saya bukanlah termasuk kedalam golongan orang yang mudah menyerah, saya harus
tetap optimis. Ini adalah jihad saya, bukan sekedar mentransfer ilmu tapi juga
mendidik mereka.
Ibu masih tersenyum. Namun
akhirnya ibu angkat bicara. Beliau berkata bahwa saya harus kembali meninjau
ulang niat saya terjun ke dunia pendidikan. Apa motivasi terbesar saya untuk
mengajar. Karena, kedua hal tersebut mampu menjawab segala keluhan yang mungkin
terlontar. Saat ini yang dibutuhkan adalah guru yang ikhlas dan mampu berpikir
positif. Dikatakan ikhlas adalah mengajar dan mendidik siswanya dengan sepenuh
hati, tanpa adanya rasa terpaksa, dan mencintai profesinya. Semuanya akan
tercermin dari cara dia mengajar. Sedangkan berpikir positif adalah
berprasangka baik terhadap apapun, baik manusia maupun keadaan. Jadi kita harus
mampu berpikir positif terhadap siswa, dengan menghargai berbagai macam
karakter dan perbedaan dari mereka, tidak me-label mereka dengan sesuatu yang
negatif, dan membuka diri untuk lebih mengenal pribadi mereka masing-masing.
Ibu benar, tentu saja, karena
beliau sudah memiliki pengalaman mengajar hampir 25 tahun. Bahkan saya
termotivasi untuk mengikuti jejak mulianya dengan menjadi seorang guru. Yang
dalam filosofi jawa dikatakan bahwa guru merupakan akronim dari kata digugu dan
ditiru. Dengan demikian, setiap perbuatan dan perkataan guru akan menjadi
perhatian dari siswa dan masyarakat.
Saya sadar, bahwa yang
terpenting adalah menjalin komunikasi secara baik dengan siswa, tidak hanya
terbatas pada ruangan kelas saja, tapi juga di luar jam pelajaran. Memberikan motivasi kepada mereka tanpa
adanya nada keras atau ancaman. Berusaha untuk mengenal lebih baik
kepribadiannya dengan mencoba memahami latar belakang kehidupannya, lalu tidak
mengkotak-kotakkan mereka, apalagi membandingkan mereka satu dengan lainnya.
Kini, walaupun saya tidak
mengajar mereka lagi. Hubungan kami tetap baik, bahkan mereka begitu sering
mengunjungi saya dan masih meminta nasehat serta meminta saya untuk membantu
kesulitan mereka dalam belajar. Sugguh pengalaman yang luar biasa bagi saya.
Saya masih selalu tersenyum ketika mereka kembali menanyakan berapa usia saya.
Saya memang masih muda, saya berhasil menamatkan kuliah dalam waktu 3,5 tahun
saja dengan predikat cumlaude.
Langsung mendapatkan tawaran mengajar. Namun, saya selalu mengingatkan
mereka untuk menghargai dan menghormati guru, tanpa memandang berapapun
usianya.
Mengajar Naila dan para pembaca buku mb Oci, pastinya :)))
BalasHapusIya Mbak, tetap nikmat :)
BalasHapusMengajar itu ada kenikmatan tersendiri. Seneng rasanya kalau ada yang bertanya sesuatu, kita bisa menjawabnya.
BalasHapusBener banget :)
HapusSaya malah tidak enjoy mengajar mbak. Sy pernah ngajar privat dan kelas kursus tapi tidak bisa saya nikmati. Makanya waktu teman2 rame2 melamar jadi dosen, saya tak melakukannya karena keterlaluan menurut saya kalau saya mengajar hanya demi uang dan tidak dapat menikmati pekerjaan saya. Beruntung mbak Oci amat menikmatinya ya :)
BalasHapusSekarang kan ada Nailah yang diajar ya .. pasti senang Nailah punya ummi yang sabar :)
Hehehe... iya Mbak Mugniar. Sudah cita-cita dari dulu :)
Hapus