* ‘Amr
bin Hajar, seorang raja dari daerah Kindah melamar Iyaas binti ‘Auf bin
Musallam Al Syaibani. Ketika telah tiba waktu pernikahan, ibunya ---- yaitu
Umamah binti Harits---- menemui dirinya dan menasihatkan kepadanya tentang
dasar-dasar dari kehidupan perkawinan yang bahagia serta hal-hal yang wajib
dilaksanakan untuk sang suami. Juga tentang sesuatu yang pantas dijadikan
sebagai aturan atau pegangan untuk seluruh wanita muslimah. Lalu ia (sang ibu)
berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya engkau akan memisahkan diri dari tempat
dimana engkau dahulu dilahirkan, dan engkau telah berjanji untuk menempati
kehidupan di mana di dalamnya terdapat kehancuran bagi yang lalai dan
pertolongan bagi yang berpikir. Walaupun tidak dapat dipungkiri terdapat wanita
yang tidak membutuhkan nafkah dari suaminya, karena kekayaan yang dimiliki oleh
orang tuanya dan mereka (kedua orang tuanya) masih menyayanginya. Akan tetapi,
pada dasarnya (istri) itu diciptakan untuk laki-laki (suami) dan laki-laki
untuk wanita. Wahai anakku, sesungguhnya engkau memisahkan diri dari lingkungan
dimana engkau dilahirkan dan engkau masuk ke dalam lingkungan yang belum pernah
engkau ketahui, serta pendamping yang belum engkau kenal, dengan kekuasaanya ia
telah menjadi pengawal dan pelindung bagimu. Maka jadikanlah dirimu sebagai
hamba, niscaya ia akan menjadi hamba untukmu dan jagalah perilakumu darinya
yang akan menjadi perbendaharaanmu. Pertama: Rendah hati dengan menerima apa
saja yang diberikan oleh suami dan mendengarkan perkataan serta menaatinya.
Kedua:
Mencari tahu akan segala sesuatu yang ia senangi, agar tidak memberikan kesan
menyia-nyiakan dan tidak menebar aroma kecuali aroma yang wangi. Ketiga:
Mengingatkan kegiatan serta waktu istirahatnya, sebab terus-menerus berada
dalam keadaan lapar (bekerja) dan sulit tidur merupakan penyebab dari kemarahan
dan berkurangnya kemesraan.
Keempat:
menjaga harta dan nama baik keluarga, karena orang yang terbaik mengurus harta
adalah siapa yang mampu mengukur dengan baik dan dalam (paham) akan masalah keluarga
serta mampu mendidik anggota keluarga dengan baik. Terakhir kelima: Jangan
menentang perintahnya (selagi masih berada pada jalur yang dibenarkan oleh
syariat) dan jangan membuka rahasia yang ada di antara kalian berdua. Karena,
jika engkau menentang perintahnya, maka sama saja artinya engkau mengundang
kemarahannya; dan jika engkau membuka rahasianya, maka berarti engkau telah
menghianatinya. Kemudian, hindarilah sikap bersenang-senang sementara ia sedang
dalam keadaan duka; dan hindarilah sikap bermuram durja manakala ia sedang
berada dalam keadaan (kondisi) bergembira.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
* Berikut
adalah sebuah nasehat dari seorang laki-laki yang menikahkan putrinya dengam
salah seorang kemenakannya. Ketika ia ingin menasihatkan sesuatu kepada
anaknya, ia berkata kepada ibunya, “Perintahkan
kepada anakmu untuk tidak memasuki kamar, kecuali senantiasa membawa air.
Karena, air pada tempat yang tinggi menjadi jernih pada tempat rendah ia
menjadi bersih (artinya, selalu dibutuhkan bagi pasangan suami istri ketika
berhubungan badan). Juga supaya tidak selalu mengajak suaminya tidur untuk
tidur berbaring. Disamping itu, yang terpenting adalah tidak menghalangi
(menolak) keinginan suaminya untuk tidur bersama (melaksanakan hubungan badan).
Karena, hal itu merupakan kebutuhan yang harus disalurkan.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
* Ketika Farafishah bin Al
Ahwash mengantarkan putrinya menuju rumah Amirul Mukmin Utsman bin Affan untuk
dinikahkan dengannya, ia menasihati putrinya, “Wahai anakku, sesungguhnya engkau akan menghadapi wanita-wanita
Quraisy (sebagai saingan) yang lebih mampu berhias daripadamu. Untuk itu,
jagalah nasihat dariku akan dua hal. Pertama, hendaknya engkau senantiasa
memakai celak. Kedua, hendaknya engkau membersihkan diri dengan air (mandi
serta memakai wewangian), sehingga aroma dirimu tidak seperti bau yang
ditimbulkan oleh geriba (tempat air yang terbuat dari kulit) yang terkena hujan
(hingga mengeluarkan bau yang tidak sedap).”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
* Ummu
Mu’ashirah telah menasihati anak perempuannya yang akan menikah dengan
perkataan sebagai berikut, “Wahai anakku,
engkau akan menghadapi kehidupan baru, yaitu kehidupan yang tidak ada tempat
bagi ibu dan bapakmu atau seseorang dari saudaramu. Yang akan menjadi temanmu
adalah seorang laki-laki yang tidak ingin orang lain mencampuri urusannya
padamu, sekalipun itu dari pihak keluargamu sendiri. Jadilah engkau istri yang
baik bagi suamimu dan ibu bagi anak-anakmu. Jadikanlah suamimu merasakan, bahwa
engkau adalah segalanya dalam meniti kehidupannya didunia ini.
Ingatlah selalu olehmu,
bahwa dengan sedikit perkataan manis akan cukup membuat laki-laki (suami)
bahagia. Jangan sampai suamimu merasa, bahwa pernikahan dengannya menyebabkan
engkau jauh dari kerabat dan keluargamu. Sesungguhnya perasaan seperti ini
telah menyita perhatiannya. Karena, ia pun telah meninggalkan rumah kedua orang
tua dan keluarganya demi engkau. Maka, ia tidak ada bedanya dengan engkau.
Perempuan selalu
merindukan keluarga dan rumah asalnya, tempat dimana ia dilahirkan, dibesarkan
dan belajar. Akan tetapi, sebagai seorang istri engkau harus bisa membina
kehidupan dengan seorang laki-laki yang menjadi suami, pengayom dan bapak bagi
anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru.
Wahai anakku, ini adalah
kehidupanmu untuk masa kini dan masa yang akan datang. Ini adalah bangunan
rumah tangga yang engkau bina bersama suamimu. Adapun kedua orang tuamu adalah
masa lalu. Aku tidak ingin dirimu melupakan bapak, ibu dan saudara-saudaramu,
karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya. Wahai buah hatiku, bagaimana
mungkin ibu melupakan kenangan indah bersamamu. Akan tetapi, aku minta dirimu
untuk mencintai suamimu dan hidup bersamanya dengan bahagia.”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Kisah
seorang ulama besar Syuraih saat pertama kali ia menikah dengan seorang
perempuan dari Bani Tamim berikut:
“Aku berwudhu dan dia pun berwudhu bersamaku. Tatkala
selesai mengerjakan shalat, aku berdoa agar dia menjadi perempuan yang
diberkati, agar Allah Swt memberikan kepadaku kebaikannya dan menjauhkan dariku
keburukannya.
Tak lama kemudian, perempuan itu membuka kata-katanya dengan
memuji Allah Swt dan berkata, ‘Aku adalah perempuan yang asing bagimu. Apa yang
menyenangkanmu, maka aku akan melakukannya. Apa yang membuatmu tidak senang
maka aku akan menjauhinya.’ Aku menjawab.’Aku suka ini, dan aku benci ini dan
ini’.
Dia
bertanya lagi, ‘Apakah engkau senang jika keluargaku berkunjung?’ Aku menjawab,
Aku adalah seorang Qadhi. Aku khawatir akan membuat mereka bosan.’ Dia
bertanya, ‘Siapa yang engkau senangi mengunjungimu dari tetangga-tetanggamu?’
Kemudian aku memberitahunya.”
Sumber: Mahdi, Mahmud. 2008.
Kado Perkawinan. Pustaka Azzam. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar