14 Januari 2015

Bunda Lebih Pintar Dari Ummi




Suatu hari, Si Abi bertanya, apakah saya tak ingin menulis tentang isu-isu seputar dunia pendidikan saat ini. Itu dia tanyakan saat dulu heboh tentang kurikulum. Apakah saya tidak ingin menulis buku yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Hmmmm... sama sekali tak terpikirkan oleh saya menulis tentang itu, sekalipun hanya di blog saja, tidak mengirimnya ke koran lokal agar masuk kolom opini, apalagi menjadi sebuah naskah buku yang utuh. Untuk buku tentang manajemen pun hanya ada 1 buah buku yang sudah terbit dan 1 buah buku lagi yang masih sedang dalam proses di penerbit.

Saya terlalu sibuk, terlalu asyik menyelami ilmu-ilmu yang tak pernah saya dapati di bangku sekolah maupun perkuliahan. Saya berkutat dengan resep masakan dan kue, saya tenggelam dalam bacaan-bacaan yang berhubungan dengan dunia anak, panci, deterjen, tanaman, dll. Yup... yang identik dengan urusan domestik. Sesuatu yang dulu saya anggap tidak penting, hal biasa dan naluriah saja.

Kondisi saya saat ini bukanlah kondisi yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Semuanya bermula saat saya memutuskan untuk resign mengajar di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan begitu putri pertama saya lahir. Keputusan itu murni pilihan saya, suami mengijinkan, tidak keberatan, sebagaimana dulu sebelum menikah dia tidak keberatan seandainya saya bekerja, hanya saja dia meminta jam kerja saya tidak melibihi jam kerjanya.

Jangan tanya bagaimana kondisi awal saya saat itu, mati gaya. Saya sudah biasa sibuk, tiap hari mengajar sebanyak 29 jam dalam seminggu, 3 mata pelajaran. Pada saat weekend saya sibuk kuliah S2. Lalu, saya berubah hanya di rumah saja mengurus putri tercinta. Alhamdulillah akhirnya saya mengenal sosmed. Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari penulis-penulis favorite saya. Saya menyerap banyak ilmu dari mereka. Lalu saya bergabung diberbagai grup yang berhubungan dengan menulis, parenting, makanan sehat, ASI, dll.

Tapi, jenuh itu tetap ada. Akhirnya saya sempat menjadi seorang dosen terbang. Tidak terlalu banyak jam mengajar, tapi lagi-lagi saya resign, memilih untuk beraktivitas di rumah, bercengkrama bebas dengan buah hati tercinta, dan menyalurkan hobi menulis.

Saat ini, putri saya sudah 2. Menurut suami saya, begitu besar progress saya selama ini. Tidak hanya yang berhubungan dengan pekerjaan domestik saja, tapi juga kesabaran, pola pikir, dan cara saya menghadapi orang-orang yang sering nyinyir atas pilihan hidup saya.

Lantas, apa saya langsung menjadi besar kepala? nggak juga. Pencapaian yang saya anggap luar biasa itu mungkin di mata orang lain adalah hal yang biasa. Bisa saja, pencapaian dari segi akademis saya lah yang menurut orang lain luar biasa, sedangkan menurut saya tak seberapa dibandingkan apa yang sedang saya lakukan saat ini.

Saat saya gagal dalam mengerjakan tugas, ruwet sama urusan tesis, saya masih bisa mengulang, mengerjakannya kembali, merevisi. Tapi, saat saya gagal berusaha secara optimal untuk menjalankan peran saya sebagai seorang istri dan ibu, maka saya meninggalkan luka yang tak bisa saya revisi, tetap berbekas. Tapi akhirnya saya sadar, bahwa sebagai seorang manusia, tugas kita hanyalah berdoa dan berusaha. Hasil akhir adalah mutlak ketentuan dari Allah. Akhirnya, saya tak lagi sering merasa menjadi ibu atau istri yang gagal, tak berguna, tak baik, dan seabrek label negatif lainnya.

Seperti hari itu, anak saya Nai tak sependapat dengan apa yang saya katakan. Dia juga salah dalam membaca sebuah doa. Tapi Nai ngotot kalau dia benar, yang dia lakukan itu seperti yang diajarkan oleh gurunya. Dalam hati, saya paham, bisa saja anak saya yang salah mendengar saat gurunya berkata. Lalu, Nai bilang bahwa bundanya (panggilan gurunya di sekolah) lebih pintar daripada Umminya ini.

Andai saja saya adalah saya yang beberapa tahun yang lalu, saya pasti sudah mengamuk, tak terima, atau dengan semangat 45 dan berbusa-busa menjelaskan kepada Nai bahwa saya selalu jadi yang utama. Selalu juara saat SD hingga SMA, lulus S1 paling cepat dan menyandang gelar cumlaude, langsung melanjutkan S2 dan kembali menyandang cumlaude. Tapi apa gunanya? mengertikah dia dengan semua itu? dia hanya gadis kecil berusia 5 tahun.

Saya hanya tersenyum, teringat cerita-cerita saudara-saudara saya yang dulu anaknya juga seperti itu, sangat mempercayai gurunya, menganggap gurunya paling pintar dan tak pernah salah. Ternyata, hal yang dulu menurut saya sangat aneh itu juga terjadi kepada saya. Bagaimana bisa, seorang anak menganggap gurunya lebih pintar daripada orang tuanya sendiri?. Karena, dulu saya tak pernah seperti itu, apakah karena Ibu saya berprofesi sebagai seorang guru, sehingga saya tak pernah menganggapnya tidak pintar :D

Jadi, yang saya lakukan adalah berbicara baik-baik dengannya, meminta untuk dia menanyakan kembali dengan gurunya di sekolah. Selain itu, membangun komunikasi dengan baik terhadap gurunya di sekolah. Tak masalah untuk meminta guru tersebut menyampaikan apa yang saya ingin Nai lakukan. Bukan tentang siapa yang lebih pintar, tapi siapa yang bisa menyampaikan kebaikan dan bisa diterima oleh Nai. Bukan begitu?

4 komentar:

  1. kunjungan perdana hehe , ternyata jadi seorang istri sulit sekali ya ,
    semangat terus ya bu hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak tantangannya, karena madrasah pertama bagi si buah hati. Makasih udah mampir Mas

      Hapus
  2. Pengembangan diri. Ibu rumah tangga pun butuh untuk selalu mengembangkan dirinya ya Mbak .... barakallah, senang membacanya :)

    BalasHapus