Hai.. aku tak mampu menyebut namamu
dengan lisanku, walaupun hatiku memaksa untuk selalu menghadirkan getar rindu,
jauh di dalam relung kalbu. Yang tak ingin terjamah oleh siapapun, Dan aku
gembok rapi di labirin hati. Parahnya lagi kuncinya hilang raib entah kemana.
Jika mampu kau
lihat, entah dimanapun engkau memandangku. Lihatlah
aku yang selalu duduk manis di teras depan rumahku. Memakai baju berwarna langit
biru, warna kesukaanmu. Sambil menikmati segelas teh hijau kesukaan kita. Aku menunggumu
dengan segunung rindu.
Samar-samar aku
teringat saat tangan kita terpaut untuk terakhir kalinya. Kau tampak tampan
dengan kemeja biru kotak-kotak dan senyuman yang selalu melengkung di bibirmu.
”Kau tahu, aku tak
pernah sebahagia ini sebelumnya. Beberapa jam lagi aku akan menginjakkan kaki
di Jepang, negara empat musim!.”
”Ya, aku tahu.
Nanti, kirimkan fotomu saat sedang melakukan upacara minum teh ya.” Bibirku
tersenyum namun hatiku menangis.
”Hahaha.. tentu
saja. Sayang, aku berjanji akan segera membawamu ke sana. Tunggu aku ya.”
Mataku terasa
panas, ada air yang mendesak untuk keluar dan begitu sulit untuk aku tahan. Lalu
akhirnya pertahananku runtuh juga, bendungan air mata itu perlahan hancur dan
mengeluarkan berbulir-bulir air mata. Tangisku semakin menjadi-jadi saat burung
besi itu terbang membawamu pergi. Membawamu cintaku, membawa asa demi masa
depan kita nanti agar jauh lebih baik.
***
Di teras ini, mataku
tiada henti memandangi jalanan, bahkan aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak berkedip
agar saat kau datang aku dapat menyambutmu. Tapi nihil, padahal ini sudah 366 hari aku menantimu.
”Mbak.. yuk, kita
masuk. Ini sudah larut malam”. Riani memegang pundakku lembut.
”Mbak masih
menunggunya.” Aku bergeming.
Riani hanya
melengos pasrah, kini ia sibuk membereskan teko dan gelas kosong yang
berserakan di hadapanku.
”Mbak, ayolah..
kembalilah seperti Mbak yang dulu. Sampai kapanpun Mas Reno nggak akan kembali!, Mas Reno
sudah Mati!.”
”Tidaaaaaaaaaaak!!!.”
***
Sayang, mereka
bilang aku gila. Aku tidak gila, aku tahu kau telah tiada. Aku tahu saat gempa
dan tsunami itu memisahkan kita lebih jauh lagi. Ke alam yang tidak dapat aku
jangkau dengan burung besi manapun. Ke tempat yang tidak memungkinkanmu untuk
kembali menjemputku. Maka, ijinkanlah aku hidup dalam kenangan kita untuk
sesaat saja. Merasakan hadirmu disisiku saat kita memandangi langit dengan
secangkir teh hijau di tangan, di teras ini.
Tohoku 10 Maret 2011
Shena sayang, dua hari lagi aku akan pulang. Aku akan menjemputmu, kita akan merangkai mimpi indah kita di negara empat musim ini. Terlebih sebentar lagi musim semi, kita dapat menikmati mekarnya bunga sakura someiyoshino yang bunganya lebih dahulu mekar sebelum
daun-daunnya mulai keluar. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan batang pohon yang
berada di lokasi yang sama, bunganya mulai mekar secara serentak dan rontok
satu per satu pada saat yang hampir bersamaan. Kita bisa hanami sambil minum teh.
Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganmu. menikmati sorot rindu dari kedua bola mata indahmu. Sungguh, di sini aku telah melalui setahun yang berat tanpamu.
Cintamu, Reno
terimakasih partisipasinya ya Oci... :)
BalasHapusIya Mbak.. sama-sama. event GA yang kereeeeen.. ^_^
BalasHapushuwaaa.. keren...
BalasHapushiks jadi minder hiks
hehehe.. tengkiyu yah sudah mampir pagi2buta. ini lagi mellow.. jadi kebawa nulisnya ^_^
BalasHapushhmmmm.... indah dalam rindu.....
BalasHapustengkiyu udah mampir Mas Akhmad.. ^_^
BalasHapusTerharu! Cerita yg mengharukan! So success buat GA-nya ya mbak... ;-)
BalasHapushehehe.. tengkiyu Mas Eksak.. ^_^
BalasHapussaya datang lagi mb Oci...
BalasHapusmerinding membaca kisahnya... :(
iyaaaa... Mbak.. Tengkiyu udah dateng lagi.. hehehe.. jadi merinding yah Mbak ^_^
BalasHapus