13 Maret 2012

Symphoni Rindu


Hai.. aku tak mampu menyebut namamu dengan lisanku, walaupun hatiku memaksa untuk selalu menghadirkan getar rindu, jauh di dalam relung kalbu. Yang tak ingin terjamah oleh siapapun, Dan aku gembok rapi di labirin hati. Parahnya lagi kuncinya hilang raib entah kemana.

Jika mampu kau lihat, entah dimanapun engkau memandangku. Lihatlah aku yang selalu duduk manis di teras depan rumahku. Memakai baju berwarna langit biru, warna kesukaanmu. Sambil menikmati segelas teh hijau kesukaan kita. Aku menunggumu dengan segunung rindu.

Samar-samar aku teringat saat tangan kita terpaut untuk terakhir kalinya. Kau tampak tampan dengan kemeja biru kotak-kotak dan senyuman yang selalu melengkung di bibirmu.

”Kau tahu, aku tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Beberapa jam lagi aku akan menginjakkan kaki di Jepang, negara empat musim!.”

”Ya, aku tahu. Nanti, kirimkan fotomu saat sedang melakukan upacara minum teh ya.” Bibirku tersenyum namun hatiku menangis.

”Hahaha.. tentu saja. Sayang, aku berjanji akan segera membawamu ke sana. Tunggu aku ya.”

Mataku terasa panas, ada air yang mendesak untuk keluar dan begitu sulit untuk aku tahan. Lalu akhirnya pertahananku runtuh juga, bendungan air mata itu perlahan hancur dan mengeluarkan berbulir-bulir air mata. Tangisku semakin menjadi-jadi saat burung besi itu terbang membawamu pergi. Membawamu cintaku, membawa asa demi masa depan kita nanti agar jauh lebih baik.

***

Di teras ini, mataku tiada henti memandangi jalanan, bahkan aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak berkedip agar saat kau datang aku dapat menyambutmu. Tapi nihil, padahal ini sudah 366 hari aku menantimu.

”Mbak.. yuk, kita masuk. Ini sudah larut malam”. Riani memegang pundakku lembut.

”Mbak masih menunggunya.” Aku bergeming.

Riani hanya melengos pasrah, kini ia sibuk membereskan teko dan gelas kosong yang berserakan di hadapanku.

”Mbak, ayolah.. kembalilah seperti Mbak yang dulu. Sampai kapanpun Mas Reno nggak akan kembali!, Mas Reno sudah Mati!.”

”Tidaaaaaaaaaaak!!!.”

***

Sayang, mereka bilang aku gila. Aku tidak gila, aku tahu kau telah tiada. Aku tahu saat gempa dan tsunami itu memisahkan kita lebih jauh lagi. Ke alam yang tidak dapat aku jangkau dengan burung besi manapun. Ke tempat yang tidak memungkinkanmu untuk kembali menjemputku. Maka, ijinkanlah aku hidup dalam kenangan kita untuk sesaat saja. Merasakan hadirmu disisiku saat kita memandangi langit dengan secangkir teh hijau di tangan, di teras ini.

                                                   
Tohoku 10 Maret 2011

Shena sayang, dua hari lagi aku akan pulang. Aku akan menjemputmu, kita akan merangkai mimpi indah kita di negara empat musim ini. Terlebih sebentar lagi musim semi, kita dapat menikmati mekarnya bunga sakura someiyoshino yang bunganya lebih dahulu mekar sebelum daun-daunnya mulai keluar. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan batang pohon yang berada di lokasi yang sama, bunganya mulai mekar secara serentak dan rontok satu per satu pada saat yang hampir bersamaan. Kita bisa hanami sambil minum teh.

Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganmu. menikmati sorot rindu dari kedua bola mata indahmu. Sungguh, di sini aku telah melalui setahun yang berat tanpamu. 

Cintamu, Reno

 “Tulisan ini diikutkan pada Giveaway Satu Tahun dari blog celoteh .:tt:. “.

10 komentar:

  1. terimakasih partisipasinya ya Oci... :)

    BalasHapus
  2. Iya Mbak.. sama-sama. event GA yang kereeeeen.. ^_^

    BalasHapus
  3. huwaaa.. keren...
    hiks jadi minder hiks

    BalasHapus
  4. hehehe.. tengkiyu yah sudah mampir pagi2buta. ini lagi mellow.. jadi kebawa nulisnya ^_^

    BalasHapus
  5. tengkiyu udah mampir Mas Akhmad.. ^_^

    BalasHapus
  6. Terharu! Cerita yg mengharukan! So success buat GA-nya ya mbak... ;-)

    BalasHapus
  7. hehehe.. tengkiyu Mas Eksak.. ^_^

    BalasHapus
  8. saya datang lagi mb Oci...
    merinding membaca kisahnya... :(

    BalasHapus
  9. iyaaaa... Mbak.. Tengkiyu udah dateng lagi.. hehehe.. jadi merinding yah Mbak ^_^

    BalasHapus