11 Desember 2012

Bincang Senja


Senja selalu indah. Saat lembayung mulai merona, angin bertiup dengan sepoi, dan burung-burung terbang pulang dengan membentuk formasi yang unik. Tidak ada tempat yang lebih nyaman selain teras ini, senja selalu terlihat indah. Tak perduli saat hujan turun dan mengguyur bumi disertai dengan angin kencang atau gelegar petir.   ”Senja itu seperti kita” Lelakiku tersenyum sambil menggenggam jemariku erat.

            ”Ya, tapi kita tidak seindah senja” Aku mengecup bahunya yang semakin ringkih. Lelakiku masih tersenyum, senyuman yang masih sehangat dulu. Walaupun ketampanannya telah terkikis oleh waktu dan hanya menyisakan kerutan-kerutan tak terhitung. Tapi cinta itu tidak pernah lekang.

            ”Siapa bilang? Kita jauh lebih indah dari senja. Senja akan berubah menjadi pekat malam...”

            ”Dan, kita juga akan menghilang seperti senja” Aku memotong ucapannya. Lelakiku menoleh dan kembali tersenyum. ”Senja yang hilang oleh pekat malam akan kembali lagi esok harinya, tapi tidak dengan kita” Aku yakin kali ini lelakiku akan setuju.

            ”Tidakkah kau sadar sayang, kita juga melewati proses yang sama dengan senja, hanya saja kita lebih dulu pulang”.

            Kau benar lelakiku. Kita telah melewati begitu banyak senja di dalam hidup ini. Menatap senja sambil mengurai segala penat hari dan menyusun rencana untuk esok hari. Ah... senja yang sempurna karena selalu ada kamu di sini.

***
       ”Bagaimana, kamu bersedia Ran?” Wahyu menatapku penuh harap. Aku begitu menikmati ekspresi wajahnya saat ini. Rasanya aku ingin mengulur-ulur waktu lebih lama lagi. Tapi aku tidak tega, tidak sampai hati mempermainkan lelaki yang sangat aku cintai ini.

       ”Aku bersedia” Kata-kata itu akhirnya meluncur mulus dari mulutku. Kami saling tersenyum dan senja menjadi penutup yang sempurna untuk menyusun rencana hidup baru kami esok.

***
       Mas Wahyu sedang asyik menonton televisi. Aku mendekatinya, lalu memeluknya dari belakang. Sebentar lagi senja akan berubah menjadi pekat malam. Di meja makan sudah terhidang sop buntut kesukaannya, asapnya masih mengepul dan menghadirkan aroma yang menggugah selera.

       ”Ranti, kamu masak sop buntut ya?” Mas Wahyu beranjak, lalu melangkahkan kakinya ke meja makan.

       ”Eiiiiits... nanti dulu, sekarang belum waktunya makan malam” Aku menepis tangan Mas Wahyu yang hampir saja menowel sop tersebut.

       ”Hahaha.. oke deh nyonya besar” towelan Mas Wahyu kini beralih ke pipiku.

       Ah... senja menjadi saksi yang indah kemesraan kami. Kemesraan yang semakin menjadi saat malam menjadi semakin pekat dan sepi. Yang terdengar hanya suara binatang-binatang malam seperti alunan simphoni merdu.

***
           ”Mas, pokoknya Ranti mau makan tahu bacem!” Aku memasang muka memelas, tanganku sibuk mengelus-elus perutku yang membuncit.

           ”Kamu maunya bacem Bik Narti, lha Bik Narti sedang nggak jualan sekarang Ran. Mas harus gimana dong. Sebentar lagi senja, kamu belum makan nasi sejak pagi, kasihan si jabang bayi” Mas Wahyu ikut mengelus perutku.

           ”Ya sudah, kalau gitu kita ke rumah Bik Narti saja”.

           ”Ya ampuuuuun Rantiii..”
***
            ”Sayang... terimakasih, kau telah memberikanku seorang putri yang cantik.

Lima jam yang tidak mudah namun telah berhasil aku lalui. Tapi sayang, aku sempat tak sadarkan diri setelahnya. Kini bayi mungil itu tertidur lelap di sampingku. Hey.. hidungnya persis sekali seperti hidung Mas Wahyu, mancung.

           Sekarang kebahagiaan kami lengkap sudah. Rumah akan menjadi lebih ramai dengan suara tawa dan tangisan bayi. Tisha, kami menamainya Tisha Riana. Ia lahir saat hari mulai senja.

***
”Pa, ini udah senja. Kenapa belum pulang juga?” Aku benar-benar kesal. Tangisan Tisha tak kunjung berhenti.

”Aku masih meeting, Ma".

”Tisha rewel, Pa. Dia mau digendong Papa” Aku tak perduli sekalipun suamiku tadi bilang bahwa dia sedang meeting. Aku benar-benar kewalahan menghadapi Tisha. Tangisnya membuat telingaku sakit!.

“Kamu itu Mamanya, masa tidak bisa menghandle anak sendiri!”.

“Tapi Tisha maunya Papa!” Tuuuuut.. tuuuut.. telepon ditutup.

***

            ”Tisha... hati-hati ya....”.

            Mas Wahyu mulai melepaskan pegangannya dari stang sepeda Tisha. Tisha mengayuh sepedanya pelan, ia mencoba untuk tetap menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. 

            ”Ma... Pa... Tisha bisa!” Tisha bersorak gembira, kini ia telah memutar dan kembali mengayuh ke arah Papanya. Aku begitu bahagia melihat mereka. Lembayung merona, perpaduan yang indah dengan siluet tawa Tisha dan Mas Wahyu yang menggema.

***

Aku membenamkan diriku di kamar, meringkuk di bawah selimut. Membanjiri bantal dengan air mata yang begitu sulit untukku bendung. Aku masih tidak percaya dengan penglihatanku tadi. Aku benar-benar sedang melihat Mas Wahyu masuk ke dalam mobil bersama seorang wanita muda. Mobil yang diparkir tidak jauh dari toko sepatu tempat aku berada tadi. Aku tidak akan sepanas ini kalau saja Mas Wahyu tidak menggandeng tangannya mesra.

Apa yang dilakukan Mas Wahyu di belakangku?. Tidak ingatkah ia akan Tisha. Senja menjadi begitu muram bagiku....
***
            ”Ranti, anak kita cantik sekali”.

            ”Iya, secantik aku dulu” Kami berdua saling tersenyum, Tisha tampak begitu cantik dengan balutan baju pengantin berwarna coklat keemasan. Putri kecilku itu kini telah dewasa dan menikah dengan lelaki pilihannya. Kelak, aku bisa menikmati senja bersama dengan cucu-cucuku yang lucu.

***

”Eyaaaaang...”.

Aku mengalihkan pandanganku ke halaman. Ternyata itu suara indah milik kelima cucuku. Mereka berlari menghampiri kami yang tengah asyik menikmati senja di teras rumah. Membuyarkan lamunan panjangku akan peristiwa yang kembali berputar seperti slide hitam putih di benakku. Hanya sedikit peristiwa yang mampu aku ingat tentang hidupku dan senja. Senja yang menjadi saksi atas perjalanan hidupku.

”Mas Wahyu... ” Aku menyentuh pipinya yang hangat. Tetapi lelakiku itu tetap bergeming. Matanya terpejam, dengan kepala yang bersandar di bantalan kursi.

”Eyaaaaang.. bangun, Raisa datang nih” Cucuku yang paling kecil ikut membantuku membangunkan. Tapi, lelakiku tak kunjung membuka kedua matanya. Jantungku berdegup keras, aku mulai sadar bahwa jemarinya yang menggengam erat jemariku sedari tadi, terasa begitu dingin.

Apakah lelakiku telah pergi bersama senja yang mulai berganti dengan langit yang hitam pekat?. Ia pergi lebih dulu saat menikmati senja di teras ini. Pergi tanpa aku ketahui, karena aku tengah larut akan semua kenangan di masa silam.

Kau benar lelakiku, kita sama seperti senja. Hanya saja kita lebih dahulu pulang dan tak akan kembali, sedangkan senja dapat kembali keesokan harinya lagi.

Gambar pinjem dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar