17 September 2012

Mak dan El (FIKSI)


Pekanbaru, di pinggiran sungai Siak..

Mak duduk termenung di halaman belakang rumah ditemani dengan lima ekor ayamnya, yang kesemuanya berwarna hitam. Dengan wajah kusut dan mata yang menerawang jauh entah kemana. Padahal, di ruang tamu sedang ramai orang yang bolak-balik berdatangan sejak semalam. Aku urung untuk mendekati Mak, lalu melangkahkan kakiku ke tempat dimana suara nyaring Kak Ita berasal.

“Kak Ita, cobalah kau tengok emak, ada apa gerangan yang membebani pikirannya?”. Ujarku kepada kakakku Ita yang sedari tadi sibuk ketawa-ketiwi di ruang tamu bersama Cik Midah dan tetangga lainnya.

“Manalah aku tahu, sudah hampir seminggu dia begitu, makanpun hilang selera”. Kak Ita menjawab, jawaban yang cukup mengagetkanku.

Memang, sudah hampir seminggu ini aku berangkat kerja sehabis subuh dan baru pulang lewat tengah malam. Aku mendapatkan tawaran kerja tambahan, lumayan untuk membantu emak agar asap dapur kami tetap mengepul. Menjalankan tugasku sebagai tulang punggung keluarga ini sejak abah tiada. Sedangkan kakakku Ita, perawan tua yang sukanya membual ke rumah-rumah tetangga. Emak juga sudah bosan menasehati, apalagi menjodohkannya. Selera kak Ita terlalu tinggi, nak hidup senang, makan enak, dan belanja ke mall saja pikirannya. Inginnya mendapatkan suami yang pengusaha berdasi atau PNS yang duduk di kursi empuk dan basah. Aku pusing, habis banyak dah uangku untuk beli bedaknya tapi tak juga dia dapat jodoh orang kaya.

Seperti sekarang, dengan santainya dia membual bersama cik Midah dan para tetangga tanpa memperdulikan emak. Padahal, sebelumnya Cik Midahlah orang yang paling enggan ia temui. Selalu saja ia kucing-kucingan. Sekarang, sudah seperti anak kembar saja dia dengan cik Midah.

 “Jangan sampai lupa kau Ita, aku mau semua tanda tangan para juri tu”. Ujar cik Midah berapi-api.

  “Ah, tak payahlah tu cik, asal hutangku kau lunaskan. Nanti aku kasih bonus foto aku bersama artis-artis tu, pajanglah di kamar”. Alamak, ternyata kak Ita ada maunya juga.

 “Memanglah kau Ita, sudah aku kasih toleransi sama emak kau untuk bayar sewa rumah ni, sekarang kau minta pula hutang lunas”. Cik Midah geleng-geleng kepala.

“Aduh cik, itu belum seberapa, nanti kalau El menang, kami beli sekalian rumah jelek ini, kami bangun jadi rumah mewah, El itu bakal sukses seperti Lyla dan Geisha, tau tak!”. Kak Ita tak mau kalah.

“Ah!, jangan banyak cakap kau Ita. Berkat sms aku tu, mana ada kau uang tuk beli pulsa”. Cik Midah tetap merasa paling berjasa.

Semakin ribut saja mereka berdua. Untung acara yang menampilkan El di televisi segera dimulai. Kalau tidak, semakin panjang saja perdebatan mereka.

“Mak, apa gerangan yang risaukan hati mak?, rindu El?, tak lama lagi mak nak jumpa dengan dia, tapi mengapa terlihat sedih”. Akhirnya aku menghampiri mak dan bertanya.

“Mak pusing karena tak ada baju bagus, malu nanti si El”. Mak berkata lirih.

***

Jakarta, di ruang tunggu salah satu TV swasta nasional..

“El, lusa mak kau jadi ke Jakarta?”. Pria gembul itu bertanya.

“Tentu saja jadi, harus karena di undang sponsor”.

 “Pasti mak kau bangga, anak bungsunya yang pengamen ini bisa jadi artis”.

“Tapi malu aku bang, kalau mak datang, diwawancarai, dan masuk TV dengan dandanan kampungannya”.

“Ah bodoh kau!, itu malah bagus, akan semakin mengundang simpati banyak orang dan kau akan menang dengan polling sms terbanyak”.

“Betul juga bang!”. El tersenyum lega mendengar pernyataan calon menejernya itu.


2 komentar:

  1. Wah wah wah ... terlalu si El.

    Makasih ya, sudah dicatat. Selamat menunggu pengumumannya :)

    BalasHapus
  2. Hihihi... si El jadi pemeran antagonis di sini


    Masama. Oke deh ^_^

    BalasHapus