Pekanbaru, di pinggiran sungai Siak..
Mak duduk termenung di halaman belakang rumah ditemani dengan lima ekor
ayamnya, yang kesemuanya berwarna hitam. Dengan wajah kusut dan mata yang
menerawang jauh entah kemana. Padahal, di ruang tamu sedang ramai orang yang bolak-balik
berdatangan sejak semalam. Aku urung untuk mendekati Mak, lalu melangkahkan
kakiku ke tempat dimana suara nyaring Kak Ita berasal.
“Kak Ita, cobalah kau tengok emak,
ada apa gerangan yang membebani pikirannya?”. Ujarku kepada kakakku Ita yang
sedari tadi sibuk ketawa-ketiwi di ruang tamu bersama Cik Midah dan tetangga
lainnya.
“Manalah aku tahu, sudah hampir
seminggu dia begitu, makanpun hilang selera”. Kak Ita menjawab, jawaban yang
cukup mengagetkanku.
Memang, sudah hampir seminggu ini
aku berangkat kerja sehabis subuh dan baru pulang lewat tengah malam. Aku
mendapatkan tawaran kerja tambahan, lumayan untuk membantu emak agar asap dapur
kami tetap mengepul. Menjalankan tugasku sebagai tulang punggung keluarga ini
sejak abah tiada. Sedangkan kakakku Ita, perawan tua yang sukanya membual ke
rumah-rumah tetangga. Emak juga sudah bosan menasehati, apalagi menjodohkannya.
Selera kak Ita terlalu tinggi, nak hidup senang, makan enak, dan belanja ke mall saja pikirannya. Inginnya
mendapatkan suami yang pengusaha berdasi atau PNS yang duduk di kursi empuk dan
basah. Aku pusing, habis banyak dah uangku untuk beli bedaknya tapi tak juga
dia dapat jodoh orang kaya.
Seperti sekarang, dengan santainya
dia membual bersama cik Midah dan para tetangga tanpa memperdulikan emak.
Padahal, sebelumnya Cik Midahlah orang yang paling enggan ia temui. Selalu saja
ia kucing-kucingan. Sekarang, sudah seperti anak kembar saja dia dengan cik
Midah.
“Jangan sampai lupa kau Ita, aku mau
semua tanda tangan para juri tu”. Ujar cik Midah berapi-api.
“Ah, tak payahlah tu cik, asal
hutangku kau lunaskan. Nanti aku kasih bonus foto aku bersama artis-artis tu,
pajanglah di kamar”. Alamak, ternyata kak Ita ada maunya juga.
“Memanglah kau Ita, sudah aku kasih
toleransi sama emak kau untuk bayar sewa rumah ni, sekarang kau minta pula
hutang lunas”. Cik Midah geleng-geleng kepala.
“Aduh cik, itu belum seberapa, nanti
kalau El menang, kami beli sekalian rumah jelek ini, kami bangun jadi rumah
mewah, El itu bakal sukses seperti Lyla dan Geisha, tau tak!”. Kak Ita tak mau
kalah.
“Ah!, jangan banyak cakap kau Ita. Berkat
sms aku tu, mana ada kau uang tuk beli pulsa”. Cik Midah tetap merasa paling
berjasa.
Semakin ribut saja mereka berdua. Untung acara yang menampilkan El di televisi
segera dimulai. Kalau tidak, semakin panjang saja perdebatan mereka.
“Mak, apa gerangan yang risaukan hati mak?, rindu El?, tak lama lagi mak
nak jumpa dengan dia, tapi mengapa terlihat sedih”. Akhirnya aku menghampiri
mak dan bertanya.
“Mak pusing karena tak ada baju bagus, malu nanti si El”. Mak berkata
lirih.
***
Jakarta, di
ruang tunggu salah satu TV swasta nasional..
“El, lusa mak kau jadi ke Jakarta?”.
Pria gembul itu bertanya.
“Tentu saja jadi, harus karena di
undang sponsor”.
“Pasti mak kau bangga, anak
bungsunya yang pengamen ini bisa jadi artis”.
“Tapi malu aku bang, kalau mak
datang, diwawancarai, dan masuk TV dengan dandanan kampungannya”.
“Ah bodoh kau!, itu malah bagus,
akan semakin mengundang simpati banyak orang dan kau akan menang dengan polling
sms terbanyak”.
“Betul juga bang!”. El tersenyum lega
mendengar pernyataan calon menejernya itu.
Wah wah wah ... terlalu si El.
BalasHapusMakasih ya, sudah dicatat. Selamat menunggu pengumumannya :)
Hihihi... si El jadi pemeran antagonis di sini
BalasHapusMasama. Oke deh ^_^