Bagaimana kau membangun mimpi tentang sebuah rumah?. Yah, aku
memulainya dengan bermimpi, tidak akan ada yang bisa menghalangi imajinasiku
dalam sebuah mimpi tentang rumah. Sekalipun dunia berteriak bahwa it’s imposible Nita!. Terserah
aku, ingin rumah tropis di tepi pantai, istana di atas bukit, rumah kotak
minimalis di tengah kota, rumah pohon di pinggir hutan, rumah gua di padang
pasir, bahkan igloo di kutub . Semua terserah aku, aku hanya butuh sebuah
tempat yang nyaman untuk menyandarkan kepala, kemudian memejamkan mata, lalu
melayang terbang menghampiri rumah mana yang akan ku singgahi. Dalam sekali
terbang, aku bisa menyinggahi beberapa rumah di belahan dunia manapun. Rumah-rumah
itu adalah rumahku.
Maukah kau ikut denganku?. Aku akan mengajakmu ke rumahku, kau bisa pilih
rumah mana yang akan menjadi favoritmu. Pertama, tentu saja rumah-rumahku yang
ada di Indonesia, tanah air dan tumpah darahku. Aku punya beberapa rumah di
pulau Sumatra. Akan aku ceritakan beberapa rumahku. Rumah pertama adalah di
Aceh, tepat di sebelah mesjid Baiturrahman. Mesjid yang masih berdiri kokoh
saat tsunami melandanya 6 tahun yang lalu. Rumahku dan mesjid itu mempunyai
halaman yang sama. Aku suka duduk-duduk di halaman sambil menunggu azan maghrib
berkumandang. Lantunan ayat sucinya begitu indah teman. Kemudian aku terbang
lagi ke kota Pekanbaru, rumahku tepat di pinggir sungai siak, sungai terdalam
di Indonesia. Kalau kau kesana sore hari, kau akan disuguhi beberapa tontonan,
yaitu anak-anak yang terjun bebas dari jembatan Leighton dan berenang tertawa
gembira di sungai itu. Hmmm.. lumayan, sambil menikmati jagung bakar, cukup
membuat jantungmu berdesir. Itu baru di dua kota, belum lagi rumahku yang ada
di Palembang atau di Bandar Lampung.
“Nita, kamu sudah makan?”.
Suara Ibu, aku terbang kembali dan meninggalkan rumah-rumahku. Saat membuka
mata, aku melihat Ibu berdiri di hadapanku dan tersenyum manis. Di tangannya
ada bungkusan yang bisa ditebak kalau itu adalah buah pesanannku, ya buah jeruk.
Aku begitu menyukainya, warna kuningnya juga adalah warna kesukaanku. O yah di
rumahku yang di Brastagi, aku mempunyai kebun jeruk yang sangat luas hingga
berhektar-hektar. Saat hampir panen, kau bisa melihat pemandangan kuning yang
indah. Ibu sangat betah duduk di dekatku saat aku sedang makan jeruk , dia
bilang aku sangat cantik saat melahap jeruk-jeruk itu sampai habis. Aku bisa
menghabiskan jeruk 1 kilo hanya dengan sekali duduk.
Nah, ibu sudah pergi. Ibu pasti
ingin istirahat setelah lelah bekerja. Semenjak ayah telah tiada, bisa
dikatakan ibu adalah tulang punggung keluarga ini. Apalagi untukku, ibu harus
bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku. Termasuk untuk membeli
buah jeruk kesukaanku, aku pernah lihat tulisan yang tertera di bungkusnya
yaitu toko buah “manis” yang terdapat di salah satu mall, harganya juga mahal. Apakah
jeruk kesukaanku itu hanya ada dijual di sana saja, tidakkah ada yang
menjualnya di emperan pinggir jalan dengan harga yang lebih terjangkau. Ataukah
aku yang harus mengganti selera buah jerukku, dengan jeruk mana saja yang ada. Oh
ibu, aku sangat menyayangimu.
Teman, hari ini cuaca sangat cerah. Aku akan mengunjungi rumahku
yang ada di Jakarta. Rumahku itu berhadapan langsung dengan istana Negara. Aku
bisa melihat mobil-mobil mewah keluar masuk di sana. Tahukah teman, di Jakarta
aku punya begitu banyak rumah, bahkan aku juga bisa bertetanggaan dengan para
pejabat, tokoh Indonesia atau artis manapun yang aku mau. Kalau aku lelah, aku
akan pindah ke rumahku yang ada di Puncak, aku bisa berada di kursi santai
dengan ditemani secangkir teh dan biskuit kentang. Pemandangan perkebunan tehnya sangat indah, hawanya juga
sejuk dan segar. Tempat ini juga sangat cocok untuk ibu melepas penat setelah
seharian bekerja.
“Mbak Nita, kalau aku punya
uang, aku ingin ke Bali mbak. Kata orang bali itu indah, seperti surga, bahkan
banyak orang asing lebih mengenal Bali daripada Indonesia”. Ujar adikku Rara
saat suatu hari ia mengungkapkan keinginannya.
“Suatu saat nanti keinginanmu
itu akan terwujud, mbak bantu do’a ya”. Aku hanya bisa menyemangatinya lewat
kata dan senyuman.
Sebenarnya aku ingin
memberitahu Rara bagaimana cara agar kamu bisa kemana saja dan mempunyai rumah
dimana saja tanpa harus perlu repot. Yah, tanpa repot memikirkan biaya dan
kapanpun kamu mau bisa datang sesuka hati. Tapi aku bingung harus mengatakan
apa dan harus mulai mengajarinya dari mana. Aku merasa kemampuanku adalah
bagian dari diriku yang mungkin tidak dimiliki semua orang. Karena ibu tidak
mungkin punya dana untuk mewujudkan impian Rara, adik semata wayangku itu.
Sedangkan aku, seorang kakak yang tidak bisa membantunya selain dengan do’a.
Aku sedih, seandainya saja uang yang dihabiskan untukku itu dialokasikan untuk
Rara, mungkin keinginannya akan terkabulkan.
Teman, apakah aku sudah
menceritakan bahwa aku juga punya rumah di luar negeri, ya di beberapa Negara.
Rumah yang paling sering aku singgahi adalah rumahku yang ada di Jepang, aku
suka menyaksikan bunga sakura yang berjatuhan dimusim gugur. Teman, aku juga
bisa menciptakan musimku kapan saja di belahan dunia manapun yang hendak aku
singgahi. Terserah aku, mau musim panas, hujan, dingin, semi, dan gugur.
Menyenangkan bukan?, bebas dan tanpa perlu terkendala paspor atau bahasa. Tentu
saja, karena aku tidak menguasai bahasa asing manapun. Sedangkan bahasa daerah
saja aku tidak bisa, padahal ayahku jawa dan ibuku melayu. Memang sih, orang
tuaku tidak pernah berbahasa daerah di rumah, dan tidak pernah mengajari kami.
“Nita, kamu jangan terlalu
banyak tidur Nak, ibu perhatikan kamu jarang sekali keluar, apa tidak bosan di
kamar terus”. Suatu hari ibu bertanya kepadaku.
Ibu tidak tahu bahwa
sesungguhnya aku tidak berdiam diri di kamar saja. Aku tidak tidur, tapi sedang keliling Indonesia, bahkan
keliling dunia. Ibu tidak tahu bahwa sesungguhnya itu lebih indah daripada
keluar dari kamar ini. Aku cukup menunggu mbak Anggi datang saja. Cuma mbak
Anggi yang rajin menemuiku, padahal seingatku dulu aku punya banyak sahabat. Entah
kemana sekarang perginya mereka, tapi aku tidak ambil pusing lagi. Bagiku
cukup ibu, Rara, dan mbak Anggi. Tentunya juga rumah-rumahku. Mbak Anggi adalah
tetanggaku, dia saat ini sedang kuliah semester 4 jurusan kepustakaan. Jadi,
mbak Anggi sering membawakan aku buku-buku bagus. Yah, buku-buku yang telah
merubah duniaku yang sebelumnya sepi, yang begitu membuatku bosan untuk hidup. Buku-buku
itu juga yang mengenalkan aku pada rumah-rumahku.
“Nita, bangun. Ayo bangun Nak, buka matamu. Jangan tinggalkan ibu”. Aku mendengar suara ibu, juga tangisnya. Tapi
mataku begitu berat untuk aku buka.
“Mbak, Rara pengen ngobrol. Ayo bangun mbak”. Ada
Rara juga.
“Nita, mbak bawa buku baru
nih, buku yang kamu pesan. Ayo bangun sayang”. Mbak anggi datang.
Duh kenapa dengan aku. Biasanya aku begitu gampang untuk membuka mata. Aku
juga heran kemana aku sebelumnya, aku tidak sedang berada di rumah-rumahku yang
di belahan dunia manapun. Ibu.. Rara.. dan mbak Anggi.. aku merasa begitu
sangat lelah.. aku terbang.. tapi sekali lagi bukan ke rumah-rumah yang biasa
aku singgahi. Aku terbang menuju rumah yang tak pernah aku kenal namun terasa
begitu aku rindukan. Mungkin seperti kerinduan orang-orang terhadap kampung
halamannya. Padahal aku belum sempat bertanya pada ibu bagaimana rumah
impiannya, aku belum melihat Rara ke Bali, dan aku juga belum membaca buku yang
dibawa mbak Anggi. Buku yang begitu ingin aku baca, buku yang sudah lama aku
inginkan. Aku juga belum selesai bercerita kepada kalian tentang seluruh
rumah-rumah yang aku punya. Tapi aku
yakin, kelak kita akan kembali ke rumah yang sama.
***
Namanya Ranita, usianya baru
menginjak 16 tahun, tetapi di tubuhnya sudah bersarang sebuah penyakit,
leukemia. Kondisinya semakin memburuk, ibunya seorang janda yang sehari-hari
bekerja hanya sebagai buruh nyuci dan menyetrika di rumah tetangga-tetangganya.
Aku kasihan, padahal tidak sedikit biaya yang harus di keluarkan untuk
pengobatan Nita, apalagi ditambah dengan biaya sekolah adiknya yang berusia dua
tahun lebih muda. Sekarang Ranita telah tiada, ia pergi ke rumah barunya. Rumah
yang begitu membuatnya penasaran dan tidak bisa ia singgahi dalam mimpinya
kecuali dalam tidur panjangnya saat ini. Yang tertinggal hanyalah rak buku
mungil yang berada di sebelah tempat tidurnya, buku-buku itu semua adalah
pemberianku. Semuanya tentang rumah, hal yang begitu menarik baginya.
Buku di tanganku ini adalah
buku yang begitu ia inginkan, buku tentang rumah abadi. Rumah dimana kelak kita
semua akan kembali. Walaupun kau belum sempat membacanya, tapi semoga ibadah
dan ikhlasmu adalah pahala. Ranita.. kini
kau telah lebih dulu ke sana, kelak kami juga akan menyusulmu. Selamat
jalan..