1 Juni 2011


Bagaimana kau membangun mimpi tentang sebuah rumah?.  Yah, aku memulainya dengan bermimpi, tidak akan ada yang bisa menghalangi imajinasiku dalam sebuah mimpi tentang rumah. Sekalipun dunia berteriak bahwa it’s imposible Nita!. Terserah aku, ingin rumah tropis di tepi pantai, istana di atas bukit, rumah kotak minimalis di tengah kota, rumah pohon di pinggir hutan, rumah gua di padang pasir, bahkan igloo di kutub . Semua terserah aku, aku hanya butuh sebuah tempat yang nyaman untuk menyandarkan kepala, kemudian memejamkan mata, lalu melayang terbang menghampiri rumah mana yang akan ku singgahi. Dalam sekali terbang, aku bisa menyinggahi beberapa rumah di belahan dunia manapun. Rumah-rumah itu adalah rumahku.

Maukah kau ikut denganku?. Aku akan mengajakmu ke rumahku, kau bisa pilih rumah mana yang akan menjadi favoritmu. Pertama, tentu saja rumah-rumahku yang ada di Indonesia, tanah air dan tumpah darahku. Aku punya beberapa rumah di pulau Sumatra. Akan aku ceritakan beberapa rumahku. Rumah pertama adalah di Aceh, tepat di sebelah mesjid Baiturrahman. Mesjid yang masih berdiri kokoh saat tsunami melandanya 6 tahun yang lalu. Rumahku dan mesjid itu mempunyai halaman yang sama. Aku suka duduk-duduk di halaman sambil menunggu azan maghrib berkumandang. Lantunan ayat sucinya begitu indah teman. Kemudian aku terbang lagi ke kota Pekanbaru, rumahku tepat di pinggir sungai siak, sungai terdalam di Indonesia. Kalau kau kesana sore hari, kau akan disuguhi beberapa tontonan, yaitu anak-anak yang terjun bebas dari jembatan Leighton dan berenang tertawa gembira di sungai itu. Hmmm.. lumayan, sambil menikmati jagung bakar, cukup membuat jantungmu berdesir. Itu baru di dua kota, belum lagi rumahku yang ada di Palembang atau di Bandar Lampung.

“Nita, kamu sudah makan?”.

Suara Ibu, aku terbang kembali dan meninggalkan rumah-rumahku. Saat membuka mata, aku melihat Ibu berdiri di hadapanku dan tersenyum manis. Di tangannya ada bungkusan yang bisa ditebak kalau itu adalah buah pesanannku, ya buah jeruk. Aku begitu menyukainya, warna kuningnya juga adalah warna kesukaanku. O yah di rumahku yang di Brastagi, aku mempunyai kebun jeruk yang sangat luas hingga berhektar-hektar. Saat hampir panen, kau bisa melihat pemandangan kuning yang indah. Ibu sangat betah duduk di dekatku saat aku sedang makan jeruk , dia bilang aku sangat cantik saat melahap jeruk-jeruk itu sampai habis. Aku bisa menghabiskan jeruk 1 kilo hanya dengan sekali duduk.

Nah, ibu sudah pergi. Ibu pasti ingin istirahat setelah lelah bekerja. Semenjak ayah telah tiada, bisa dikatakan ibu adalah tulang punggung keluarga ini. Apalagi untukku, ibu harus bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku. Termasuk untuk membeli buah jeruk kesukaanku, aku pernah lihat tulisan yang tertera di bungkusnya yaitu toko buah “manis” yang terdapat di salah satu mall, harganya juga mahal. Apakah jeruk kesukaanku itu hanya ada dijual di sana saja, tidakkah ada yang menjualnya di emperan pinggir jalan dengan harga yang lebih terjangkau. Ataukah aku yang harus mengganti selera buah jerukku, dengan jeruk mana saja yang ada. Oh ibu, aku sangat menyayangimu.

Teman, hari ini cuaca sangat cerah. Aku akan mengunjungi rumahku yang ada di Jakarta. Rumahku itu berhadapan langsung dengan istana Negara. Aku bisa melihat mobil-mobil mewah keluar masuk di sana. Tahukah teman, di Jakarta aku punya begitu banyak rumah, bahkan aku juga bisa bertetanggaan dengan para pejabat, tokoh Indonesia atau artis manapun yang aku mau. Kalau aku lelah, aku akan pindah ke rumahku yang ada di Puncak, aku bisa berada di kursi santai dengan ditemani secangkir teh dan biskuit kentang. Pemandangan perkebunan tehnya sangat indah, hawanya juga sejuk dan segar. Tempat ini juga sangat cocok untuk ibu melepas penat setelah seharian bekerja.

“Mbak Nita, kalau aku punya uang, aku ingin ke Bali mbak. Kata orang bali itu indah, seperti surga, bahkan banyak orang asing lebih mengenal Bali daripada Indonesia”. Ujar adikku Rara saat suatu hari  ia mengungkapkan keinginannya.

“Suatu saat nanti keinginanmu itu akan terwujud, mbak bantu do’a ya”. Aku hanya bisa menyemangatinya lewat kata dan senyuman.

Sebenarnya aku ingin memberitahu Rara bagaimana cara agar kamu bisa kemana saja dan mempunyai rumah dimana saja tanpa harus perlu repot. Yah, tanpa repot memikirkan biaya dan kapanpun kamu mau bisa datang sesuka hati. Tapi aku bingung harus mengatakan apa dan harus mulai mengajarinya dari mana. Aku merasa kemampuanku adalah bagian dari diriku yang mungkin tidak dimiliki semua orang. Karena ibu tidak mungkin punya dana untuk mewujudkan impian Rara, adik semata wayangku itu. Sedangkan aku, seorang kakak yang tidak bisa membantunya selain dengan do’a. Aku sedih, seandainya saja uang yang dihabiskan untukku itu dialokasikan untuk Rara, mungkin keinginannya akan terkabulkan.

Teman, apakah aku sudah menceritakan bahwa aku juga punya rumah di luar negeri, ya di beberapa Negara. Rumah yang paling sering aku singgahi adalah rumahku yang ada di Jepang, aku suka menyaksikan bunga sakura yang berjatuhan dimusim gugur. Teman, aku juga bisa menciptakan musimku kapan saja di belahan dunia manapun yang hendak aku singgahi. Terserah aku, mau musim panas, hujan, dingin, semi, dan gugur. Menyenangkan bukan?, bebas dan tanpa perlu terkendala paspor atau bahasa. Tentu saja, karena aku tidak menguasai bahasa asing manapun. Sedangkan bahasa daerah saja aku tidak bisa, padahal ayahku jawa dan ibuku melayu. Memang sih, orang tuaku tidak pernah berbahasa daerah di rumah, dan tidak pernah mengajari kami.

“Nita, kamu jangan terlalu banyak tidur Nak, ibu perhatikan kamu jarang sekali keluar, apa tidak bosan di kamar terus”. Suatu hari ibu bertanya kepadaku.

Ibu tidak tahu bahwa sesungguhnya aku tidak berdiam diri di kamar saja. Aku tidak tidur, tapi sedang keliling Indonesia, bahkan keliling dunia. Ibu tidak tahu bahwa sesungguhnya itu lebih indah daripada keluar dari kamar ini. Aku cukup menunggu mbak Anggi datang saja. Cuma mbak Anggi yang rajin menemuiku, padahal seingatku dulu aku punya banyak sahabat. Entah kemana sekarang perginya mereka, tapi aku tidak ambil pusing lagi.  Bagiku cukup ibu, Rara, dan mbak Anggi. Tentunya juga rumah-rumahku. Mbak Anggi adalah tetanggaku, dia saat ini sedang kuliah semester 4 jurusan kepustakaan. Jadi, mbak Anggi sering membawakan aku buku-buku bagus. Yah, buku-buku yang telah merubah duniaku yang sebelumnya sepi, yang begitu membuatku bosan untuk hidup. Buku-buku itu juga yang mengenalkan aku pada rumah-rumahku.

“Nita, bangun. Ayo bangun Nak, buka matamu. Jangan tinggalkan ibu”. Aku mendengar suara ibu, juga tangisnya. Tapi mataku begitu berat untuk aku buka.

“Mbak, Rara pengen ngobrol. Ayo bangun mbak”. Ada Rara juga.

“Nita, mbak bawa buku baru nih, buku yang kamu pesan. Ayo bangun sayang”. Mbak anggi datang.

Duh kenapa dengan aku. Biasanya aku begitu gampang untuk membuka mata. Aku juga heran kemana aku sebelumnya, aku tidak sedang berada di rumah-rumahku yang di belahan dunia manapun. Ibu.. Rara.. dan mbak Anggi.. aku merasa begitu sangat lelah.. aku terbang.. tapi sekali lagi bukan ke rumah-rumah yang biasa aku singgahi. Aku terbang menuju rumah yang tak pernah aku kenal namun terasa begitu aku rindukan. Mungkin seperti kerinduan orang-orang terhadap kampung halamannya. Padahal aku belum sempat bertanya pada ibu bagaimana rumah impiannya, aku belum melihat Rara ke Bali, dan aku juga belum membaca buku yang dibawa mbak Anggi. Buku yang begitu ingin aku baca, buku yang sudah lama aku inginkan. Aku juga belum selesai bercerita kepada kalian tentang seluruh rumah-rumah yang aku punya. Tapi aku yakin, kelak kita akan kembali ke rumah yang sama.
***
Namanya Ranita, usianya baru menginjak 16 tahun, tetapi di tubuhnya sudah bersarang sebuah penyakit, leukemia. Kondisinya semakin memburuk, ibunya seorang janda yang sehari-hari bekerja hanya sebagai buruh nyuci dan menyetrika di rumah tetangga-tetangganya. Aku kasihan, padahal tidak sedikit biaya yang harus di keluarkan untuk pengobatan Nita, apalagi ditambah dengan biaya sekolah adiknya yang berusia dua tahun lebih muda. Sekarang Ranita telah tiada, ia pergi ke rumah barunya. Rumah yang begitu membuatnya penasaran dan tidak bisa ia singgahi dalam mimpinya kecuali dalam tidur panjangnya saat ini. Yang tertinggal hanyalah rak buku mungil yang berada di sebelah tempat tidurnya, buku-buku itu semua adalah pemberianku. Semuanya tentang rumah, hal yang begitu menarik baginya.

Buku di tanganku ini adalah buku yang begitu ia inginkan, buku tentang rumah abadi. Rumah dimana kelak kita semua akan kembali. Walaupun kau belum sempat membacanya, tapi semoga ibadah dan ikhlasmu adalah pahala. Ranita.. kini kau telah lebih dulu ke sana, kelak kami juga akan menyusulmu. Selamat jalan..