31 Agustus 2014

Bruuugh...!!! Saya, suami , dan anak sulung saya Nai, kaget bukan main, sewaktu mendengar bunyi keras di ruang keluarga. Anak saya yang kedua, yang masih bayi juga tak kalah kaget, sehingga dia langsung menangis. Suami langsung memeriksa, ada apakah gerangan?, karena posisi kami saat itu sedang berada di dalam kamar. Ternyata oh ternyata, bunyi keras itu berpusat pada salah satu rak buku kami yang ada di rumah. Salah satu papan penyangganya lepas, akibatnya buku yang ada di papan itu lengser, tapi tidak sampai keluar dari pintu kacanya.

Yessss...! Lho, kok malah senang? hehehe... itu artinya, saya bisa minta rak buku baru lagi kepada suami. Rak buku yang itu tentu sudah nggak kuat menampung buku lebih banyak lagi. Kapasitasnya hanya untuk satu deretan, sementara saya sudah menyusun bukunya sampai dua deretan. Sementara rak buku yang lain juga penuh. Sambil bercanda, suami bilang, "bukan beli rak buku baru Mi, tapi nggak beli buku baru lagi."

Oooooh... tidaaaaak! Itu tidak mungkin! (lebay ala sinetron). Sekali lagi saya katakan, bahwa saya lebih baik nggak beli baju, tas, dan sepatu baru, daripada nggak beli buku baru. Saya tahu suami cuma bercanda, karena dia sendiri juga nggak mungkin bisa untuk nggak beli buku baru walaupun minimalnya dalam sekali sebulan. Kami, keluarga yang cinta buku, cinta membaca, dan cinta menulis.

Rak Buku yang Rusak karena Kelebihan Kapasitas

Kami memang memiliki budget khusus untuk belanja buku. Nah, sebenarnya buku apa saja sih yang kami beli, ada kriteria atau pertimbangan khusus nggak?, oh tentu saja ada. Kalau suami saya, karena dia seorang dosen dan konsultan, dia biasa membeli buku-buku penunjang perkuliahan atau yang berkaitan dengan pekerjaannya. Untuk buku lain, suami menyerahkan sepenuhnya kepada saya, paling dia hanya menyebutkan tema yang ingin dibacanya. Jadi, saya yang lebih banyak memilih buku bacaan. 

Sebelum berangkat ke toko buku, biasanya saya sudah merencanakan buku apa yang akan saya beli. Mulai dari jenis buku, fiksi atau non fiksikah, sampai tema, dan penulisnya. Saya jabarkan satu per satu yaaaa... :)

Buku Fiksi

Saya jarang sekali membeli buku fiksi, jadi buku fiksi yang saya punya tidak banyak dibandingkan dengan buku non fiksi. Untuk fiksi, seperti novel, biasanya yang menjadi pertimbangan saya untuk membelinya adalah:
  • Penulisnya. Biasanya, saya membeli dengan melihat siapa dulu penulisnya, apakah namanya sudah familiar atau belum. Nah, berhubung saya tergabung di dalam beberapa komunitas menulis yang ada di dunia maya, jadi saya punya banyak referensi di sana. Bahkan, banyak penulis novel yang akhirnya bisa saya kenal langsung. Sedikit banyak, saya jadi tahu genre novelnya, gaya khas penulisannya, dan idealismenya. Asyiknya lagi nih, kalau beli langsung sama penulisnya, bisa dapat diskon dan tanda tangan (pas promo) hehehe...
  • Resensi/review. Sekarang, kita bisa melihat banyak sekali resensi/review buku, baik di website khusus seperti goodreads, maupun website/blog personal para pecinta buku. Itu juga jadi pertimbangan saya dalam membeli buku fiksi. Setidaknya, saya dapat gambaran dari isi bukunya.
Udah, segitu saja untuk buku fiksi alias novel. Bagaimana dengan cover?, blurb/sinopsis?, label best seller?, dan penerbitnya?. Itu tidak menjadi pertimbangan utama saya. Mengapa demikian?, karena dulu saya sering kecele pas beli novel. Ceritanya begini, saya lagi pengen beli novel untuk refreshing. Pas udah di toko buku, saya pilah-pilih novel, yang saya lihat pertama kali tentu cover dan judulnya, lalu membaca blurb/sinopsisnya. Saat menemukan yang saya rasa cocok, saya langsung memboyongnya ke kasir. Tapi sesampainya di rumah, setelah saya membaca ceritanya, saya sungguh kecewa karena novel tersebut sangat jauh dari ekspektasi saya. Padahal judulnya keren, covernya apik, blurb/sinopsisnya manis, bahkan ada label pemenang dari sebuah lomba novel yang diadakan oleh penerbitnya. Sama sekali tidak terdapat hal yang mencurigakan.

Eh ternyata ada muatan-muatan negatif di novel itu dan sangat minim pesan moralnya. Bahkan, di novel tersebut menceritakan bayak sekali penyimpangan seperti, kisah tokohnya yang gay/lesbian, kebiasaan seks bebas, bunuh diri, dll. Widiiiiih... saya merinding membacanya. Padahal, pecinta novel itu banyak sekali dari kalangan pelajar. Itu tentu saja bisa merusak mental dan pikiran mereka, setidaknya akan ada anggapan bahwa penyimpangan-penyimpangan tersebut sudah menjadi hal yang biasa, parahnya kalau ada yang sampai terinspirasi dari novel tersebut.

Sejak itu, saya kapok!. Saya tidak mau memiliki koleksi buku bacaan yang ada penyimpangan seperti itu, karena saya tidak ingin anak-anak saya kelak ketika sudah bisa membaca, ia membaca buku-buku yang menurut saya tidak layak. Terlebih buku koleksi Umminya sendiri. Jadi, buku tersebut saya berikan kepada teman saya di luar kota, yang penasaran dengan cerita novel tersebut.

Baiklah, itu tadi sepintas tentang pengalaman saya saat membeli buku fiksi. Bagaimana dengan buku non fiksi?. Biasanya, saya membeli buku non fiksi berdasarkan kebutuhan, baik kebutuhan akan pengetahuan yang dapat saya aplikasikan sehari-hari, maupun kebutuhan akan referensi bacaan sebagai bahan bakar saya untuk menulis. Berikut pertimbangannya:
  • Penulis. Tetap menjadi hal yang utama buat saya, karena ada penulis yang memiliki brand tertentu, misalnya penulis buku parenting, penulis buku agama, penulis buku motivasi, penulis buku resep, dll.
  • Isi buku. Berbeda dengan buku fiksi yang sampulnya tidak boleh dibuka, untuk buku non fiksi, disediakan buku yang sampulnya sudah dibuka. Jadi, saya bisa bebas untuk melihat isinya. Pertama-tama, saya akan melihat daftar isi buku tersebut apakah sudah sesuai dengan yang saya butuhkan, kemudian baru melihat beberapa halaman untuk mengetahui bagaimana font dan spasinya apakah nyaman saat dibaca, dan melihat gaya penulisannya.
  • Penerbit. Kenapa penerbit?, ini lebih kepada pengalaman membaca saya saja. Saya sudah mengetahui bagaimana ciri khas/kriteria buku yang diterbitkan oleh beberapa penerbit.
Udah, cuma itu saja. Untuk cover, tidak menjadi pertimbangan utama saya. Blurb/sinopsis juga tidak begitu penting karena buku tersebut dapat langsung saya buka dan baca. Mengenai harga? tidak masalah selama itu masih bisa saya jangkau, kalau budgetnya nggak cukup yah nabung dulu :)

Nah, kalau ditanya bagaimana pendapat saya tentang masalah yang paling krusial dalam dunia penerbitan buku di Indonesia, menurut saya adalah organisasi yang membawahi penerbitan, penerbit, buku yang diterbitkan, dan masyarakat Indonesia. Lha, semuanya? iya, semuanya. Karena komponen-komponen tersebut tidak bisa dipisahkan. Organisasi yang membawahi penerbitan menurut saya harus memiliki idealisme, berperan aktif dalam membina penerbit-penerbit yang menjadi anggotanya, menjadi regulator. Demikian juga dengan penerbit-penerbit, hendaknya memiliki idealisme tak sekedar bisnis semata, sehingga bisa menerbitkan buku-buku yang berkualitas, yang dapat mengedukasi pembacanya secara positif, sehingga benar-benar berperan dalam mencerdaskan bangsa.

Lalu kenapa dengan masyarakat Indonesia?, ini berhubungan dengan budaya baca tulis masyarakat Indonesia yang masih rendah. Contohnya saja, di perumahan tempat tinggal saya, hanya ada dua rumah yang empunya memiliki rak buku. Tentu saja bukan rak buku pelajaran sekolah punya anak-anaknya yang saya maksud. Rumah itu adalah rumah saya, dan rumah ketua RT (Rukun Tetangga) yang merupakan seorang pengajar dan lulusan Al-Azhar Mesir.

Saat membicarakan tentang buku, beberapa berkilah dengan mengatakan bahwa harga buku mahal-mahal, lebih baik membeli buku pelajaran untuk anak-anak saja. Ada juga yang bilang tidak perlu lagi baca-baca buku karena udah nggak dalam masa pendidikan. Lebih sengit lagi, nggak sempat buat baca-baca buku, pekerjaan dan urusan rumah tangga sudah sangat menyita waktu. Padahal, mereka rata-rata dari kalangan menengah ke atas. Bagaimana anak-anak akan mencintai baca tulis bila tak ada teladan, dan bagaimana bisa pengetahuan semakin bertambah tanpa buku, yang merupakan jendela dunia. Lewat televisi? Internet?, bisa jadi asal tak banyak digunakan untuk menonton sinetron atau ber ha ha hi hi... berselancar ria di sosial media. Tapi, menurut saya, tetap bukulah sumber yang terbaik.

Jadi, bisa dibayangkan bahwa tidak ada yang tertarik untuk meminjam buku kepada saya, sekalipun rak buku besar ada di ruang tamu kami. Itu baru di sekitar saya, belum lagi di daerah lain. Bagaimana dengan di daerahmu?

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #PameranbukuBdg2014 bersama IKAPI JABAR dan Syaamil Quran.








30 Agustus 2014

IKAPI Oh IKAPI. Yaaaa, saya memang sempat bengong pas tahu tema hari kelima di lomba blog #PameranBukuBdg2014 yang ditaja oleh Syaamil Quran dan IKAPI JABAR. Maklum saja, sebagai anak baru yang masih sangat meraba dunia kepenulisan, selama ini saya kurang familiar dengan IKAPI. Saya hanya sering melihat tulisan IKAPI ada di di lembaran pertama dalam buku setelah cover, termasuk di buku saya. Di sana tertulis keterangan anggota IKAPI di bawah nama penerbit dari buku tersebut. Mungkin Anda juga pernah membacanya.


 Penerbit yang menerbitkan buku duet saya
anggota IKAPI

Penerbit lain yang tergabung di IKAPI


Nah, karena pengetahuan saya yang terbatas, apalagi tema kali ini tentang IKAPI, maka ini kesempatan saya juga untuk mengenal IKAPI lebih dalam. Ternyata eh ternyata IKAPI yang merupakan akronim dari Ikatan Penerbit Indonesia ini telah ada sejak 64 tahun yang lalu. Ya ampuuuun... kenapa saya baru tahu sekarang yaaaa. IKAPI yang merupakan asosiasi profesi penerbit satu-satunya di indonesia yang menghimpun para penerbit buku dari seluruh Indonesia ini berdiri sejak 17 Mei 1950 di Jakarta. Pelopor dan inisiatornya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, M. Jusuf Ahmad, dan Nyonya A. Notosoetardjo. Kerennya lagi nih, pendirian IKAPI didorong oleh semangat nasionalisme setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Awalnya nih, ada 13 penerbit buku yang tergabung di dalam IKAPI, terhitung tahun 2013 anggotanya sudah mencapai 1126. Wah, yang bikin saya makin kaget, ternyata di Riau tempat saya bermukim saat ini, ada cabang/perwakilan IKAPI dengan jumlah anggota 8 orang. Kemana saja yah saya selama ini, kenapa baru tahu sekarang??? Eits... tapi lebih baik tahu terlambat daripada tidak sama sekali. Lagipula, IKAPI memang tidak terdengar gaungnya di sini. Mungkin teman-teman di kota lain, sekalipun tidak begitu mengenal IKAPI tapi pernah menghadiri pameran buku yang ditaja oleh IKAPI. Di kota saya, jangan ditanya, ceritanya ada di tema hari pertama tentang pameran buku.


(Anggota IKAPI, Riau ada 8 orang)

Sebenarnya apa sih visi dan misi IKAPI? Bagaimana sepak terjangnya selama ini. Yuuuuk baca tulisan ini sampai tuntas :)

Menjadikan industri penerbitan buku di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan dapat berkiprah di pasar internasional.

Ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa melalui upaya penciptaan iklim perbukuan yang kondusif, pengembangan sistem perbukuan yang kompetitif, dan peningkatan profesionalisme asosiasi serta para anggotanya sehingga perbukuan nasional mampu berperan secara optimal demi mempercepat terbentuknya masyarakat demokratis terbuka dan bertanggung jawab.
Lalu kegiatannya apa saja, banyaaaaak!. Untuk even, ada banyak even yang diadakan oleh IKAPI mulai dari seminar, kelas menulis, kursus penulisan-penerbitan, dan juga kerjasama dalam pameran buku (IKAPI JABAR).

Lantas, peran apa saja yang diharapkan dari IKAPI dalam mengembangkan baca tulis?.
Peran aktif! iya, peran aktif yang benar-benar dilakukan secara massif, terstruktur, dan sistematis (hehehe...). Gaungkan IKAPI sampai ke pelosok negeri, karena selama ini hanya ada beberapa organisasi kepenulisan yang lebih terdengar gaungnya. Jadi, tidak hanya mengadakan even di kota-kota tertentu saja, tapi hendaklah menjangkau kota-kota lainnya, setidaknya kota yang terdapat cabang atau perwakilan dari IKAPI. Agar minat membaca dan menulis masyarakat semakin tinggi. Masuk ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan instansi lainnya. Manfaatkan the power of sosmec agar masyarakat semakin mengenal luas IKAPI.

Tidak hanya masyarakat, orang yang baru saja mencoba untuk menceburkan diri dalam dunia kepenulisan seperti saya ini, juga butuh pengetahuan lebih tentang peran IKAPI, terutama setelah melihat fenomena di dunia penerbitan, seperti ada penerbit yang menerbitkan buku yang isinya tidak sesuai dengan segmen pembaca maupun budaya yang ada di Indonesia, ada persengketaan yang terjadi antara penerbit dan penulis (mis, royalti), fenomena buku yang masa tayang di toko buku begitu cepat, sehingga banyak buku baru yang cepat diobral, dll. Somoga IKAPI bisa menjadi jembatan bagi permasalahan-permasalahan yang ada di dunia penerbitan.

Nah, kalau berandai-andai nih, apabila saya menjadi salah satu pengurus di IKAPI, maka reformasi yang akan saya lakukan adalah bersinergi dengan seluruh pemerintah daerah, untuk mengadakan program-program yang mengedukasi masyarakat akan manfaat dari membaca dan menulis. Bahkan, ikut berpartisipasi dalam mengentaskan buta aksara. Gimana mau semangat baca tulis, kalau masih banyak masyarakat di pelosok-pelosok negeri masih buta aksara. Caranya, Ada perpustakaan desa, bahkan kalau perlu perpustakaan RW (Rukun Warga), IKAPI membentuk relawan, mengadakan even secara rutin yang berhubungan dengan baca tulis (perlombaan, seminar, talkshow, pelatihan, dll), merangkul pihak swasta agar semakin banyak dukungan dan partisipasi dari masyarakat.


Apalagi yaaaaa....

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #PameranBukuBdg2014 bersama IKAPI JABAR dan Syaamil Quran.

29 Agustus 2014

Saat ini, banyak sekali hadir teknologi yang memudahkan manusia, terutama yang berhubungan dengan sistem informasi, yaitu komputer, komunikasi, dan multimedia. Dengan perkembangan konvergensi ketiga teknologi tersebut, telah membuat muatan informasi atau pesan dalam komunikasi menjadi semakin beragam. Era digital, begitulah kebanyakan orang menyebut kondisi saat ini. Nah, kalau ngomongin era digital, tentunya kita udah familiar banget dengan yang namaya gadget.

Gadget, yaitu objek teknologi yang memiliki fungsi tertentu, yang mana teknologi tersebut selalu mengalami pembaharuan dan perkembangan. Jadi, selalu ada hal yang semakin baik dari teknologi sebelumnya. Gadget ini, tidak hanya dalam artian bentuk fisik seperti telepon genggam (handphone), laptop/notebook/netbook/tablet, PSP, kamera, dll. Tapi, gedget juga berkembang dalam artian bentuk visual sofeware, yaitu fitur yang memudahkan kegiatan manusia (Teknopedia).

Berbeda dengan suami saya, saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup banyak tentang gadget. Saat menggunakan gadget, saya hanya melihat konten yang saya butuhkan saja, sekalipun tampilan gadget juga merupakan penilaian tersendiri bagi saya. Saya menggunakan laptop, spesifikasinya terserah suami, yang terpenting saya bisa mengetik, bisa akses internet, bisa lihat muka suami kalau dia lagi di luar kota (webcam), dan bisa mengunduh program-program edukatif untuk anak saya Nai. Tampilannya, saya memilih yang layar 10 inci dan tipis. Jadi, gampang untuk saya bawa kemana-mana.

Untuk telepon genggam (handphone), saya menggunakan telepon genggam yang fiturnya sederhana, yang penting bisa telepon dan sms. Nah, untuk bisa akses internet secara bebas dan bisa menggunakan aplikasi Al-Quran, saya menggunakan smartphone blackberry. Ribet sih, karena jadi terpaksa membawa 2 gadget sekaligus saat bepergian. Bukan salah gadgetnya, hanya saja saya memakai simcard yang berbeda, karena ada yang murah buat telepon dan sms tapi mahal buat akses internet, maupun sebaliknya.

Tapi yaaaa, di rumah saya ada banyak jenis telepon genggam (handphone). Itu semua kerjaannya suami, dia selalu saja tergiur dengan fitur terbaru. Saya selalu gagal paham, bagi saya yang terpenting adalah fungsi. Apalagi, menurut saya, itu pemborosan. Terlebih, suami juga memberikan putri kecil kami Nai, yang berusia 5 tahun, sebuah tablet. Alasannya, biar Nai bisa memainkan mainan edukatif dan menonton film yang didownload langsung dari internet, seperti seri Diva, seri Nadia dan Syamil, upin-ipin, dll (Nai dilarang nonton TV).

gadget di rumah 
Kalau ditanya, manakah yang dibutuhkan antara gadget dengan konten, atau keduanya, maka saya pribadi akan memilih keduanya, gadget dan konten. Saya akan memilih gadget yang memiliki konten yang banyak, yang sesuai dengan yang saya butuhkan, seperti penjelasan di atas tadi, dan gadget yang memiliki penampilan elegan yang mudah juga untuk dibawa kemana-mana.

Bagi saya, tidak masalah untuk membeli gadget yang sudah bundling dengan kontennya. Asalkan, ya itu tadi, bisa mengcover semua kebutuhan saya akan komunikasi dan informasi. Jadi, saya cukup memiliki 1 gadget. Tak kalah penting juga, bagi orang yang termasuk malas untuk mengisi ulang baterai seperti saya, maka dibutuhkan gadget yang baterainya bisa tahan lama.

Belakangan ini, saya mendapatkan informasi mengenai teknologi baru yang dapat semakin memudahkan kita untuk mendapatkan panduan dalam menjalani ibadah dan dakwah, yaitu inovasi terbaru dari Syaamil Quran. Syaamil Quran adalah salah satu penerbit Al-Quran yang ada di Indonesia, kini memiliki Syaamil digital, salah satu produknya adalah Syaamil Note. Wah... wah... wah... makin kece aja nih. Apalagi spesifikasi Syaamil notenya juga mantap. Ditambah dengan aplikasi lengkap yang sesuai banget untuk umat muslim dalam pempelajari dan memperdalam ilmu agama.

Saat saya mendiskusikan Syaamil note bersama suami, suami langsung bilang, "Wah, kalau punya ini, abi nggak beli atau gonta-ganti gadget lagi aaaah". Yeaaay.... semoga saja!


 Syaamil Note, Smartphone Islami Terlengkap dari Sygma CMC

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #PameranBukuBdg2014 bersama IKAPI JABAR dan Syaamil Quran

28 Agustus 2014

 Al-Quran di rumah kami

Bacalah Al-Quran, sesungguhnya Al-Quran itu akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafaat bagi orang yang membacanya (HR. Muslim)

Sebagai umat muslim, Al-Quran itu harus ada. Minimal setiap rumah punya satu Al-Quran. Tapi, bagi saya dan suami, satu Al-Quran tidak cukup. Selain sulit buat gantian, kami butuh Al-Qur'an yang berbeda di saat pengajian. Ada berbagai jenis Al-Quran, dengan keistimewaannya. Maksudnya, ibarat telepon genggam, Al-Quran juga punya fitur yang berbeda-beda. Nah, Al-Quran yang bagaimana yang biasa kami gunakan? berikut uraian lengkapnya, baca tuntas yaaaa... siapa tahu bisa jadi referensi buat Anda.

Dulu, sewaktu indra penglihatan masih baik, masih belum butuh bantuan kacamata, saya dan suami membawa Al-Quran mungil kemana-mana. Bentuknya yang mungil, sangat gampang untuk dibawa, bahkan bisa dimasukkan ke dalam saku. Tapi, ya itu tadi, bagi yang memiliki masalah pada mata, akan kesulitan untuk menggunakannya. Al-Quran ini juga tidak disertai dengan terjemahan, hanya ayat-ayat saja.


Al-Quran pertama yang kita punya, tentu sangat berkesan. Al-Quran bersampul warna emas yang mengkilap ini adalah Al-Quran pertama saya, pemberian orang tua. Diberikan sewaktu saya kecil saat saya pertama kali khataman. Rasanya sangat senang akhirnya bisa punya Al-Quran sendiri, tidak menggunakan Al-Quran milik Ibu lagi. Al-Quran ini tanpa terjemahan, tanpa keterangan ayat dan huruf disetiap ayatnya sangat rapat. Al-Qur'an ini sudah jarang saya gunakan. Selain lembaran kertasnya sudah menguning, Al-Quran yang mirip Al-Quran yang biasa digunakan sebagai mas kawin jaman dulu ini, sudah terasa kurang nyaman, karena hurufnya yang rapat tadi.

 Al-Quran Pertama

Jadi, untuk Al-Quran tanpa terjemahan yang kami gunakan adalah Al-Quran di bawah ini. Al-Quran yang diberikan saat saya belajar di rumah tahfiz, untuk menghapal Al-Quran. Dalam setiap lembaran, disusun hanya 10 ayat saja, dengan spasi yang tidak terlalu rapat. Jadi, nyaman untuk dibaca dan memudahkan juga saat menghapalnya.

 Al-Quran tanpa terjemahan

Lanjuuuuut yaaaa.... Kalau yang di bawah ini, Al-Quran yang ada terjemahannya, juga dilengkapi dengan keterangan ayat. Kalau soal susunan ayat dan spasinya, udah oke banget. Istimewanya, Al-Quran ini edisi 1000 doa. Jadi, ada doa-doa yang berhubungan dengan surat yang dibaca. Al-Quran ini lumayan besar ukurannya, jadi biasanya cuma digunakan saat di rumah saja.

 Al-Quran Edisi 1000 Doa

Selanjutnya, Al-Quran yang diberikan oleh suami tercinta. Al-Quran ini didesain khusus untuk wanita. Kertasnya dibuat warna-warni. Al-Quran ini dilengkapi dengan terjemahan, asbabun Nuzul, hadis seputar ayat, hikmah, dan juga indeks tematik yang memudahkan kita untuk menemukan ayat-ayat yang kita butuhkan, misalnya yang berhubungan dengan zakat, pernikahan, hukum, dll.  Al-Quran ini dilengkapi juga dengan pedoman transliterasi Arab-Latin, ada delapan warna yang digunakan untuk menjelaskan hukum-hukum tajwid. Jadi, bisa dibilang, Al-Quran ini yang paling sering saya bawa kemana-mana, baik sewaktu pengajian tahsin, maupun saat mengisi acara seminar. Ukurannya tidak terlalu besar dan memiliki ketebalan yang sedang. Pas dimasukkan ke dalam tas yang biasa saya gunakan.


 Al-Quran Khusus Wanita


Nah... nah... nah... Terakhir nih, Al-Quran favorit saya dan suami. Al-Quran ini diproduksi oleh Syaamil Quran, Al-Quran terjemahan perkata, type Hijaz. Al-Quran ini selalu dibawa saat mengikuti pengajian tafsir. Al-Quran ini dilengkapi dengan daftar nama surat, klasifikasi ayat-ayat Al-Quran (indeks tematik), dan keterangan tanda-tanda baca. Bahkan, di kertas pembatas halamannya ada jadwal waktu shalat, keterangan tentang tanda-tanda waqaf, dan doa sujud tilawah. Seandainya Al-Quran ini memiliki ukuran yang lebih kecil, tentu bisa muat ke dalam semua tas yang saya punya, karena kebanyakan tas saya berukuran tidak terlalu besar. Jadi, saat membawa Al-Quran ini, saya terpaksa harus menggunakan tas khusus.

 Al-Quran Terjemahan Perkata
Syaamil Quran Type Hijaz

 Produksi Syaamil Quran

Penerbit Syaamil Quran

Baiklah, saya sudah ulas semua Al-Quran yang biasa kami gunakan sehari-hari. Kalau ditanya Al-Quran seperti apa yang saya butuhkan, maka saya butuh Al-Quran yang bisa mengkolaborasikan keunggulan dari berbagai jenis Al-Quran yang saya miliki di atas, yaitu:
  • Al-Quran terjemahan yang ada terjemahan perkata,
  • Al-Quran dilengkapi asbabun Nuzul, hadis seputar ayat, hikmah, indeks tematik, ada doa, dan hukum-hukum tajwid yang diberikan warna-warna yang berbeda.
  • Ukurannya tidak terlalu besar
  • Menggunakan kertas yang berwarna-warni sesuai juznya
  • Di dalamnya juga dilengkapi bacaan tentang keutamaan membaca Al-Quran, adab dalam membaca Al-Quran, dan jadwal waktu shalat. Ada panduan ibadah sehari-hari lainnya seperti shalat, puasa, zikir, dan zakat, bahkan haji.
  • Ukuran ayat dan spasinya pas, nyaman untuk dibaca dari berbagai kalangan usia, baik muda, maupun tua.
Waaaah... itu namanya paket komplit yah. Semoga saja Syaamil Quran bisa mewujudkannya, karena Syaamil Quran salah satu penerbit Al-Quran yang selalu berinovasi sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan kebutuhan. Produk-produk Syaamil Quran juga bagus. Apalagi sekarang ada Syaamil digital, pasti super lengkap, ada panduan ibadah harian, seperti shalat, zikir, dan doa. Di era digital saat ini, Al-Quran digital juga sangat dibutuhkan, agar generasi muda yang sudah sangat akrab dengan gadget semakin bersemangat untuk membaca Al-Quran dan memperdalam ilmu agama. Jadi, bisa dikatan Syaamil Quran sebagai pelopor!.

Hmmmm... bingung deh, Al-Quran seperti apa yah yang belum pernah ada di Indonesia?, yang versi cetak sudah bervariasi, yang menggunakan e-pen juga ada, yang digital apalagi. Bagaimana menurutmu?.

http://syaamilquran.com/wp-content/uploads/hishna.jpg 
(Naksir Al-Quran ini) 

http://syaamilquran.com/wp-content/uploads/brosur-syaamildigital-A5-01.jpg
 credit
(Yang ini, naksiiiiir pake banget)

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #PameranBukuBdg2014 bersama IKAPI JABAR dan Syaamil Quran

27 Agustus 2014

Tidak banyak anak-anak yang belajar mencintai buku dari dirinya sendiri. Harus ada orang yang memancing mereka masuk ke dalam dunia bahasa tertulis yang indah, seseorang harus menunjukkan jalan kepada mereka (Orville Prescott, A Father Reads to His Children)

Bahas tentang buku itu nggak akan ada habisnya, karena buku adalah harta yang sangat berharga bagi keluarga kecil kami. Saya, suami, dan anak sulung kami Nai, sangat menyukai buku. Saya sendiri, memang sudah hobi membaca sejak kecil. Bacaan saya dulu, selain majalah anak-anak bobo, buku lima sekawan karya Enid Blyton, juga buku-buku cerita melayu, dan asal-usul daerah-daerah yang ada di Riau, seperti tentang Pertualangan Laksamana Hangtuah, asal-usul Putri Tujuh, dll. Buku melayu dan asal-usul daerah tersebut, waktu saya kecil dulu sangat mudah ditemukan di perpustakaan sekolah.

Kebiasaan membaca tetap bertahan hingga saat ini, nggak papa deh kalau nggak beli baju baru, asal jangan nggak beli buku baru. Nah, dulu sebelum Nai lahir, saya dan suami punya budget tertentu setiap bulannya untuk berbelanja buku. Tidak hanya buku-buku penunjang perkuliahan (suami saya seorang dosen dan konsultan), tapi juga buku-buku lainnya seputar agama, motivasi, kisah inspiratif, novel, dll. Jadi, tidak heran kalau di rumah kami, buku bisa ditemukan di mana-mana. Buku tidak hanya tertata rapi di dalam 3 lemari, tetapi juga ada di meja kamar, di bawah bantal, bahkan di atas lemari es atau mesin cuci.

Setelah Nai lahir, besar, dan mulai mengenal buku, otomatis budget kami berdua berkurang, karena ada jatah Nai juga di sana. Ya, Nai juga suka sekali dengan buku. Sejak kecil, Nai sudah saya biasakan untuk akrab dengan buku, bahkan saat masih mengandungnya, saya kerap kali membacakan buku cerita. Terlebih ketika Nai sudah lahir, dan sudah berusia 5 tahun saat ini, membacakan buku sudah menjadi suatu keharusan. Tidak heran, selain perpustakaan daerah, toko buku juga menjadi tempat favorit kami sekeluarga. Kalau sudah berada di perpustakaan daerah atau toko buku, kami bisa seharian.


Beberapa buku favorit Nai


Lemari Khusus Buku Nai

Nah, serunya nih kalau lagi belanja di toko buku. Saya dan suami jadi sering ngalah dengan Nai. Dengan wajah imutnya, Nai memelas buat dibeliin. Nai udah duluan aja milih buku yang dia suka. Nggak tega juga buat nggak beliin.  Terpaksa deh, buku yang udah saya pegang, dibalikin lagi ke raknya. Apalagi, buku anak-anak itu harganya lumayan juga. lumayan mahal maksudnya. Sesuai sih dengan jumlah halaman, hard cover, kertas full colour dan bergambar. Terutama untuk buku-buku ensiklopedi.

Bagi kami, sama sekali nggak rugi buat beliin anak buku-buku, karena itu adalah salah satu investasi. Buku, bisa membantu kami untuk mengajarkan banyak hal. Nai belum bisa membaca, maka membacakan buku-buku (memanfaatkan indra pendengaran) bermanfaat untuk memperkaya kosa kata, dan kelak akan membantunya untuk memahami kata-kata yang dia dapatkan melalui mata, saat ia nanti belajar membaca. Baik lewat buku-buku cerita yang penuh pesan moral, juga buku-buku berupa ensiklopedi yang bergambar.


Buku Bantal, Buku Pertama Nai
(terbuat dari kain, aman kalau masuk mulut, nggak sobek juga)


Buku Mungil, Waktu Nai Belajar
Mengenal Huruf dan Bentuk

Kalau ditanya buku anak apa yang menarik?. Nai akan menjawab buku-buku yang gambarnya sangat bagus, dengan warna-warna yang cerah. Ini tentu saja sesuai dengan selera Nai, sekalipun dia tidak mengetahui dengan baik apa saja yang ada di dalam buku tersebut. Tapi, bagi Ummi dan Abinya, buku anak yang menarik adalah buku-buku yang kontennya sesuai dengan segmen usia anak, buku yang tidak hanya isinya bagus, tetapi juga memancing kreatifitas anak, buku yang lengkap dan praktis.

Selain buku-buku cerita bergambar, gambar di bawah ini adalah contoh buku-buku yang kami pilih, yaitu:
  • Buku tulis dan hapus. Buku ini cocok sekali untuk anak-anak yang sudah mulai belajar mengenal huruf dan angka. Mereka bisa menulisnya langsung di buku, dan bila salah, bisa dihapus kembali. Jadi, kita tidak membutuhkan kertas atau papan tulis lagi.
  • Kamus bergambar. Tidak dipungkiri, salah satu daya tarik buku adalah gambarnya. Maka, ensiklopedi jadi salah satu buku yang dapat diandalkan dalam memperkenalkan berbagai hal lewat gambar.
  • Buku aktivitas: gunting, tempel, menebalkan garis dan mewarnai. Praktis, dalam satu buku, kita bisa menemukan 4 aktivitas yang berbeda. Selain lebih hemat dari segi biaya, anak juga tidak merasa cepat bosan.
  • Buku Puzzel dan Bangunan. Banyak buku-buku yang unik, ada buku yang di dalamnya terdiri dari puzzel-puzzel, dan ada juga buku yang bisa dibuat ke dalam bentuk sebuah bangunan. Buku-buku unik tersebut akan semakin membuat anak betah berlama-lama.

Buku Pilihan

Buku unik, bisa dibuat bangunan

Jika membandingkan buku-buku anak jaman sekarang dengan jaman saya dulu, jelas sangat berbeda jauh. Jaman sekarang sudah semakin berkembang, orang tua punya berbagai alternatif buku bacaan yang bisa dipilih sesuai dengan tingkat usia dan pemahaman anak. Seperti halnya pemaparan saya di atas, ada begitu banyak jenis buku dengan keunggulan dan daya tariknya masing-masing. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan budget yang orang tua miliki.

Sebagai orang tua, memang peran aktif kita sangat dibutuhkan untuk memilih buku-buku yang tepat untuk anak-anak. Jangan sampai ada konten yang tidak sesuai dengan agama dan budaya kita, terutama untuk buku-buku terjemahan. Dampingi selalu buah hati kita, dan buka ruang komunikasi sebaik mungkin agar anak tidak sungkan untuk bertanya sesuatu yang tidak ia mengerti dari bacaannya.

Terakhir, yuk kenalkan buku kepada anak-anak sejak dini, salah satunya dengan teladan dari orang tua. Membiasakan membacakan buku kepada anak-anak, mengajaknya ke acara-acara pameran buku, ke perpustakaan, dan juga ke toko buku. Tak kalah penting juga, yuk menabung/sediakan budget khusus untuk membelikan anak-anak kita buku-buku yang berkualitas.


Bermain rumah-rumahan sambil baca buku ensiklopedia
mengenal aneka perkakas


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #PameranBukuBdg2014 bersama IKAPI Jabar dan Syaamil Quran

26 Agustus 2014

Pameran Buku

Di Pekanbaru, pameran yang tidak pernah absen untuk saya dan keluarga datangi adalah Pekanbaru Expo dan Riau Expo. Even tersebut rutin diadakan setiap tahunnya oleh pemerintah Provinsi Riau, dalam rangka ulang tahun kota Pekanbaru, dan juga ulang tahun Provinsi Riau. Di sana, disajikan aneka stan yang mempromosikan aneka produk dari berbagai daerah yang ada di Provinsi Riau. Tidak hanya dari daerah yang ada di provinsi Riau, kita juga dapat menemukan stan dari provinsi lain yang juga mempromosikan produk khas dari daerah mereka. Ramai? Tentu saja, pameran yang biasanya dilaksanakan selama 1 minggu di area purna MTQ Pekanbaru ini dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung.  Bagaimanapun, pameran tersebut adalah salah satu hiburan bagi masyarakat Pekanbaru dan sekitarnya.

Di pameran, selain dapat mengunjungi stan yang mempromosikan kekhasan suatu daerah, serta berbelanja produk-produk tersebut, pengunjung juga dihibur dengan berbagai hiburan khas daerah lainnya, misalnya nyanyian dan tarian khas melayu. Selain itu, yang tak kalah penting adalah aneka kuliner yang ada di area pameran tersebut. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga sangat menikmatinya. Selain sebagai ajang untuk memperkenalkan kota Pekanbaru dan Provinsi Riau kepada anak-anak, dengan mendatangi stan yang ada, mereka juga bisa menikmati aneka permainan. Jadi, bisa dikatakan adanya perpaduan antara promosi kekayaan daerah dengan wisata kuliner, serta pasar malam.
 
 Stan Mainan Edukasi


 Stan Aneka Perhiasan dari Batu



Stan Kerajinan dari Bogor, Tasik, dan Jogja




Stan Makanan Khas Daerah

Lalu, bagaimana dengan pameran buku?. Nah, untuk pameran buku, Pekanbaru tidak seperti kota-kota besar lainnya yang sering mengadakan berbagai pameran buku. Rasanya, saya sangat iri sekali ketika melihat berbagai info pameran buku dan euforia dari teman-teman yang ada di kota tersebut. Kapan yah, Pekanbaru ada pameran buku seperti itu. Tapi, tunggu dulu, seingat saya, dulu pernah ada pameran buku, islamic book fair yang diadakan di area Masjid Agung An-Nur Pekanbaru. Tentu saja saya sangat bersemangat untuk hadir di sana. Namun, sangat disayangkan, ekspektasi saya meleset. Bukan hanya soal pengunjung yang tidak terlalu ramai, tapi juga sangat sedikitnya stan yang ada.

Salah Satu Stan Buku

Oh, iya. Di Pekanbaru expo dan Riau Expo juga bisa kita temukan stan yang menjual buku-buku. Tapi jangan bayangkan ada banyak stan dan bahwa stan itu dipenuhi aneka buku. Sebaliknya, hanya ada satu atau dua stan, mereka juga tidak memajang buku terlalu banyak. Bahkan, untuk harga, mereka biasanya hanya memberikan diskon berkisar antara 5% saja.


Apakah ini tentang kurangnya minat baca dari masyarakat Pekanbaru?, menurut pandangan saya, tidak juga. Terbukti dari ramainya pengunjung yang ada di stan yang dibuat oleh salah satu Penerbit besar, sekaligus toko buku besar yang ada di Pekanbaru, saat mereka menggelar diskon besar-besaran untuk beraneka macam buku, dari buku untuk orang-orang dewasa, hingga anak-anak, baik buku fiksi, maupun nonfiksi. Jadi, bisa dibilang, pameran buku di Pekanbaru yang rutin diadakan adalah diskon besar-besaran yang diberikan oleh salah satu toko buku besar di Pekanbaru, dengan menggelar tenda dan stan di halaman toko mereka.

Harapan saya, semoga saja kelak di Pekanbaru akan ada acara pameran buku yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Pameran buku yang dipenuhi oleh aneka stan dari partisipasi berbagai penerbit-penerbit yang ada di Indonesia. Selain memberikan diskon besar-besaran, di pameran buku tersebut juga ada temu penulisnya, temu editor dan bisa langsung kirim naskah, bedah buku/talkshow/seminar, kuis dan perlombaan menulis seperti cerpen, puisi, dll. Acara tersebut juga melibatkan masyarakat luas, dan seluruh sekolah yang ada di Pekanbaru.


Wah... membayangkannya saja sudah sangat menyenangkan, apalagi kalau pameran buku tersebut benar-benar diadakan di Pekanbaru. Terlebih, Pekanbaru memiliki perpustakaan daerah yang terkenal, yaitu perpustakaan Soeman HS. Selain bentuk bangunannya yang unik, perpustakaan tersebut juga merupakan pusat pembelajaran. Selain itu, Pekanbaru juga memiliki penulis-penulis yang sudah menghasilkan karya berupa buku. Jadi, acara pameran buku juga bisa mengedukasi masyarakat akan pentingnya minat membaca, sekaligus dapat memacu masyarakat yang memiliki hobi menulis, untuk menjadi seorang penulis juga. Aamiin.. semoga saja :)


Tulisan ini dikutsertakan dalam lomba blog #PameranBukuBdg2014 bersama IKAPI Jabar dan Syaamil Quran

21 Agustus 2014

Emang benar, jika ada ungkapan bahwa orang Indonesia nggak bisa makan tanpa sambal. Hal ini terbukti dari aneka kuliner nusantara, yang nggak terlepas dengan sajian sambalnya. Ikan bakar, ayam bakar, ikan goreng, ayam goreng, aneka seafood, ikan asin, bahkan hanya sekedar untuk makan tahu dan tempe saja, rasanya lebih nikmat dengan didampingi sambal, bener nggak?

Apalagi saya, paling doyan sama sambal. Nah, sebelumnya kan udah posting ayam bumbu nih. Untuk nemenin tu ayam, tinggal buat sambal terasi deh. Trus, sayurnya sayur bayam merah, ajiiiiib. Untuk sambal terasi, siapa hayooo yang nggak doyan. Sepertinya jarang yah, di sini, di Pekanbaru, sambal terasi itu bisa dibilang primadona. Hampir sajian sambal dari menu-menu masakan, ada terasinya. Bahan dan cara membuatnya juga gampang.

Bahannya terdiri dari cabe merah, cabe rawit (buat yang doyan pedes banget), bawang merah, bawang putih, tomat, terasi, garam, gula merah. Takarannya, tergantung selera dan porsi yang akan dibuat. Cara membuatnya gampang banget. Cabe, duo bawang, tomat, dan terasi digoreng sebentar. Setelah layu, angkat, tiriskan. Trus tinggal diulek deh, ditambahkan garam dan gula merah secukupnya. Biar tambah seger, tambahkan juga dengan perasan air jeruk nipis. Sedaaaaap... pedes, seger, sangat menggugah selera makan.






Kali ini, postingan yang lumayan norak juga. begini ceritanya, Nai itu doyan banget sama ayam bumbu, tapi saya nggak pernah masak ayam bumbu. Alasannya yang memang bener-bener alasan adalah saya nggak pandai membuatnya. Padahal, apa sih yang nggak bisa saya buat, selama nemu resepnya di Mbah Google *nyombong :D

Jangan heran sodara-sodara, karena kemampuan memasak saya masih di bawah rata-rata. Maklum, bermesraan dengan dapur baru pas udah nikah aja *tutup muka pake kulkas :D
Jadi, rasanya prestasi banget pas bisa masak sesuatu, apalagi ayam bumbu. Terlebih, suami ngomporin mulu.

Ternyatah eh ternyatah... saya nggak perlu ngulek bumbu-bumbu buat ngungkep nih ayam, sebelum ayamnya digoreng. Udah ada yang jual di warung, bisa beli seribu atau dua ribuan aja, tergantung jumlah ayam yang akan dimasak. Sumpah, saya baru tahu, ini sungguh sebuah pengetahuan berharga bagi saya di abad inih *halaaaaah

Jadi, saya nggak akan cantumin resepnya, silahkan cari bumbunya di warung-warung terdekat di daerah rumah Anda. Lagipula, ini cuma postingan narsis doang bhuahahaha...

Alhamdulillah... Yes, sekali coba, akhirnya berhasil. Lebih membanggakan lagi, saya berhasil mengalahkan ayam bumbu dari rumah makan Padang langganan kami, dan ayam bumbu Bude katering langganan kami.



Ayamnya diungkep bareng bumbu-bumbu