30 September 2013

Saat itu, saya tengah tidur siang. Maklum, tidur siang bagi saya sudah menjadi sebuah kebiasaan, walaupun cuma sebentar. Jadi, hampir bisa dipastikan saat si kecil tidur, saya juga ikutan tidur. Lalu, handphone saya berdering, ternyata dari teman saya Mbak Nuri Sahar. Ia mengabarkan bahwa saat ini sedang berada di rumah sakit dan butuh bantuan saya untuk menemaninya selama berada di sana.

Mbak Nuri memang sedang hamil, dan HPL sudah lewat. Dokter mengatakan bahwa ia tidak bisa melahirkan secara normal, dengan indikasi medis kondisi bayinya yang tidak memungkinkan, air ketuban tinggal sedikit, dan berbagai sebab lainnya. Mbak Nuri membutuhkan bantuan saya, karena keluarganya berada di Sukabumi, sementara saudara dekat (dari pihak suami) juga baru saja melahirkan. Akhirnya, Nai saya bangunkan dan saya titip di rumah omanya.

Mbak Nuri dan suaminya Ustadz Muhayat adalah penyandang disabilitas, kisahnya pernah saya tulis di sini. Jadi, mbak Nuri butuh seorang perempuan yang bisa membantunya untuk ke toilet atau keperluan lainnya. Kurang lebih 4 jam saya menunggui mbak Nuri sebelum ia dioperasi. Ntahlah, padahal saya masih agak trauma dengan rumah sakit, apalagi rumah sakit bersalin. Bukan semata karena teringat proses kelahiran Nai dulu atau kejadian-kejadian yang menimpa sepupu saya. Tapi, di ruangan itu saya mendengar jeritan, keluhan, rintihan, dari pasien yang akan melahirkan. Saya turut merasa ngilu, deg-degan, dan bahkan panik. Tapi untung saja, ada buku bacaan yang menemani saya, saat obrolan saya berakhir karena Mbak Nuri tertidur.

Tahukah temans... saat mendampingi Mbak Nuri di rumah sakit, banyak pelajaran yang saya dapatkan. Tidak hanya mengenai perjuangan seorang ibu saat melahirkan, kecemasan suami dan keluarga besar, kebersamaan dalam lantunan doa, tapi juga sebuah kemandirian. Ya, kemandirian Mbak Nuri, seorang penyandang disabilitas. Mbak Nuri masih bisa melihat walaupun dengan sangat terbatas, berbeda dengan suaminya yang tuna netra, tidak bisa melihat sama sekali. Selama saya mendampinginya, hanya 1 kali saya menemaninya ke toilet. Untuk selanjutnya, ia pergi sendiri. Setelah sebelumnya saya mengajarkan bagaimana cara melepaskan gantungan infus, menyetel tiang infus, dan meletakkannya kembali ke posisi semula.

Sehari-harinya Mbak Nuri memang sudah sangat mandiri, ia bisa berbelanja, memasak, dan mengerjakan berbagai pekerjaan domestik lainnya. Kendati dengan sangat perlahan dan hati-hati. Saat mengetahui dirinya hamil, Mbak Nuri rajin mencari informasi seputar bayi, untuk menambah pengetahuannya. Kami juga sering berdiskusi tentang banyak hal, termasuk mengasuh bayi.

Alhamdulillah... proses operasi cesar Mbak Nuri berjalan lancar. Tanggal 12 Agustus 2013 bayinya lahir dengan selamat dan kondisi Mbak Nuri juga baik. Semenjak Mbak Nuri pulang dari rumah sakit, didampingi ibunya yang sudah datang dari Sukabumi, Mbak Nuri belajar untuk mengurus bayinya. Jadi sekarang, jangan ditanya, Mbak Nuri sudah mahir mengurusi segala keperluan bayinya, sekalipun ibunya sudah kembali ke Sukabumi.

Saya jadi teringat dengan kondisi saya saat melahirkan Nai dulu. Saya juga melahirkan lewat operasi cesar, terkena eklamsia dan mengakibatkan penglihatan kabur, karena saraf mata saya terganggu. Hal tersebut berlangsung selama hampir 2 bulan, dan selama itu pula gerak saya sangat terbatas. Saya butuh bantuan orang lain untuk mengurus diri saya dan juga Nai. Bahkan karena manjanya, keinginan untuk berusaha mandiri itu bisa dibilang tidak ada.

Begitulah, terkadang kita yang memiliki penglihatan yang sempurna ini masih banyak mengeluh. Masih banyak mengharapkan pertolongan orang lain tanpa melakukan usaha yang maksimal. Astaghfirullah...



Si kecil Shidqi saat baru dilahirkan


29 September 2013

Cuaca panaaaaaaas... banget, segelas gede es madu udah tersaji di meja, laptop dan modem udah standbay.  Kerjaan domestik udah selesai, udah aman sentosa nih rasanya, tapi tiba-tibaaaa... klik... listrik mati T_T

Malam sunyi senyap, asyik banget buat nulis yang berat-berat, suasana mendukung, tapi tiba-tiba, dhuaaaaar... gledek datang dan harus tekan turn off  >_<

Bahan-bahan buat nulis udah lengkap, sediain waktu buat BW, eh mendadak sinyal modem nyiput, arrrrrgggggh.... @_@

Kali ini, kudu nulis! tidur cepat, pasang alarm buat bangun dini hari... eh ternyata hp nyungsep di kolong, alarm nggak dengar, udah kecapean, lewaaaaaat deh! -_-

Itu baru secuil keluh kesah dari mak-mak yang jumpalitan buat berusaha konsisten nulis setiap hari. Belum lagi ketika anak nggak bisa diajak kompromi, kerjaan rumah yang bejibun, fisik yang nggak kuat. Nah, sekarang nambah lagi nih, listrik yang sering mati tanpa pemberitahuan. Seperti yang terjadi beberapa bulan belakangan, listrik di kota saya matinya udah seperti minum obat, sehari bisa 3x. Kalau lihat berita di TV, Medan udah pada demo nih sama PLN, tapi warga Pekanbaru masih adem ayem ajah.

Ya sudahlah... terkadang semangat ngeblog yang tengah menyala akhirnya meredup. Bukan semata karena keluhan-keluhan di atas tadi, bukan juga karena kehabisan ide. Tapi memang ada yang harus diprioritaskan. Waktu untuk di depan laptop terbatas, kondisi fisik yang nggak bisa dipaksakan, sementara saya terikat beberapa DL nulis buku.

Nah, karena udah kadung cinta, saya tetap berusaha untuk posting tulisan di blog. Walaupun hanya sebuah tulisan yang sederhana, saya berharap tulisan itu bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Trus, gimana caranya biar tetap bisa eksis ngeblog ditengah padatnya rutinitas?. Udah banyak yang share resepnya, mulai dari kembali nulis di kertas, note HP, dll saat belum bisa menyentuh laptop atau komputer. Setelah suasana mendukung, tinggal salin deh. Kalau saya pribadi, terkadang rada lebay hehehe... nggak percaya? gini nih cara saya memotivasi diri sendiri:

  1. Kalau mau dikenal, buku-buku yang saya tulis sambil jumpalitan itu dibeli, salah satunya saya harus eksis di seantero dunia maya, termasuk blog!.
  2. Kalau saya nggak ngeblog, dunia akan kehilangan seorang manusia yang bisa menginspirasi jagad raya.
  3. Blog, membuat saya jadi manusia modern nan keren. Membuktikan bahwa saya bukan makhluk yang gaptek tapi hitec! hihihi...
  4. Blog bisa menjadi tempat saya ngeluarin uneg-uneg, kegelisahan, kegundahan, kegalauan, dengan sebuah proses yang melibatkan filter super agar outputnya berupa hal yang positif dan elegan. Bukan menularkan aura negatif dengan postingan yang penuh kemarahan, kebencian, dan segala macamnya.
  5. Lewat blog, saya punya kenalan, persaudaraan dengan orang-orang yang berada di berbagai belahan dunia lainnya. Kapan lagi coba, bisa punya temen-temen yang kaya pengalaman dan berbagi pengetahuan, menularkan semangat kebersamaan.
  6. Kalau saya nggak ngeblog, saya bisa kehilangan kesempatan buat ikutan lomba, GA, dan ngantongin berbagai hadiah yang mungkin bisa saya menangkan (terbukti bo', lumayan banyak hadiah yang udah didapat dari ngeblog ^_^)
Yah, setidaknya itulah yang terlintas di pikiran saya, dan saya lafalkan berulang-ulang saat semangat ngeblog sedang berada di titik nadir terendah *halaaaaah
Lumayan manjur! setidaknya, saya masih bisa posting tulisan di setiap bulannya.

“Cerita ini diikutsertakan dalam 2nd Give Away Ikakoentjoro’s Blog” 



28 September 2013

Siapa sih yang tidak suka dengan warna-warni indahnya pelangi, bisa dikatakan semua orang menyukai peristiwa alam tersebut. Hanya saja, tidak dengan proses terjadinya pelangi. Saat hujan datang, bahkan berkolaborasi dengan kilat dan guntur yang memekakkan telinga. Hal tersebut membuat kita bergidik, ngeri. 

Demikian juga dengan hidup, terutama dalam sebuah mahligai rumah tangga. Orang yang menikah tentu menginginkan sebuah kebahagiaan sempurna dalam hidupnya. Seperti dongeng-dongeng klasik Cinderella, Snow White & Seven Dwarfs, Mulan, Sleeping Beauty, yang pernah kita baca atau tonton, akan ada kalimat indah yang menjadi impian setiap pasangan suami istri, yaitu "... and then... they married and live happily ever and after." Ya, pernikahan yang bahagia, selama-lamanya.

Tapi, benarkah pernikahan itu selalu memberikan rasa kebahagiaan disetiap incinya? selama-lamanya?. Nah, inilah yang coba digambarkan dari sebuah novel yang berjudul Rainbow. Novel setebal 201 halaman ini menceritakan dengan apik bagaimana lika-liku perjalanan rumah tangga dari pasangan yang belum lama menikah. Pasangan yang dihantam oleh badai tepat dihari ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.

Akna, seorang suami yang gagah, tampan, dan pelindung bagi istrinya, mengalami kecelakaan mobil dan membuatnya menjadi seseorang yang cacat. Salah satu kakinya harus diamputasi. Hal tersebut membuat Akna down dan amat sangat pesimis dalam menjalani hidup. Akna yang sebelumnya hangat, penyayang, berubah menjadi seseorang yang emosional bahkan perilakunya tak ubah seperti monster bagi istrinya.

Keisha, sang istri yang manja, lembut, dan anggun berusaha untuk tetap bertahan. Ia mencoba mempertahankan mahligai pernikahan mereka dan perekonomian keluarga, pasca Akna dirumahkan oleh perusahaan tempat dimana sebelumnya ia bekerja. Lalu, mampukah Keisha tetap bertahan, apakah Akna akan berubah? Bagaimana dengan kehidupan mereka selanjutnya?

Dari judul kecilnya " Akan Selalu Ada Kesempatan Kedua", kita tentu sudah bisa menebak dan membuat kesimpulan awal bagaimana akhir dari cerita ini. Tapi walaupun demikian, novel yang ditulis oleh Eni Martini ini menggunakan bahasa yang lincah, dialog yang renyah, membuat saya tak bisa berhenti untuk membaca dan membalik setiap lembar halamannya tanpa jeda. Alhasil, novel ini selesai saya baca hanya dalam waktu 2 jam saja.

Saya begitu menikmati alur ceritanya, puisi, dan cuplikan lirik dari lagu-lagu yang menggambarkan suasana hati dari tokoh-tokohnya. Kenangan-kenangan dan romantisme yang terbalut manis, kata-kata bijak yang merupakan manisfestasi dari ayat-ayat Al-Quran. seperti salah satunya:
"Setiap kehidupan berumah tangga itu pasti mendapat ujian, entah kematian, sakit, ekonomi, perselingkuhan dan banyak lagi, karena manusia itu diuji keimanannya tidak hanya asal mengatakan 'aku beriman', Ke. Kau harus bersyukur sudah mendapat ujian ini. Banyak pasangan-pasangan lain yang masih bertanya-tanya seperti apa ujian mereka di depan sana..." (hal. 26)

Tidak hanya itu, Eni Martini sangat piawai dalam menyajikan alur yang membuat emosi saya turut larut. Merasakan perjuangan Keisha, kesedihannya, sakitnya. Nah, ini salah satu deskripsi yang saya sukai, Eni  bisa menggambarkannya dengan "lembut" yang bagi saya pribadi tak terbayangkan bagaimana bisa menggambarkan peristiwa tersebut, yaitu:
"Adakah kerinduan yang begitu pendek ketika kita terpisah hati dengan orang yang kita cintai? tentu kerinduan itu begitu panjang, menuntut ruahan fisikal yang tiada ujung, tapi haruskah dengan seperti cara ini..." (hal 142)

Novel Rainbow adalah novel ketiga karangan Eni Martini yang telah saya baca. Novelist yang telah menulis banyak karya ini, memiliki ciri khas. Setidaknya itulah yang saya rasakan dari ketiga novel tersebut yang sama-sama berkutat di seputar kehidupan rumah tangga, dengan gambaran persahabatan yang tak biasa. Mengapa persahabatan yang tak biasa?, karena Eni menggambarkan berbagai karakter manusia dengan warna-warni hidupnya. Tapi, tokoh sentral tetap digambarkan sebagai seseorang yang berprinsip, seperti halnya persahabatan antara Keisha dan Emi.


Baiklah, layaknya sebuah karya yang ditulis oleh manusia, tentunya tidak ada yang sempurna. Seperti halnya novel ini, tidak terdapat daftar isi yang biasanya kita temukan di novel atau buku-buku lainnya, beberapa typo, dan menurut selera saya pribadi, endingnya terlalu sinetron, seperti saya tengah menyaksikan FTV, saat ada plok... plok... plok... tepuk tangan dari orang tua Keisha, dan sahabat-sahabat mereka. Saya berharap hal tersebut digambarkan lebih "elegan".

Over all... saya merekomendasikan novel ini bagi Anda semua yang menyukai fiksi seputar kehidupan rumah tangga. Novel ini kaya akan pelajaran hidup dalam berumah tangga, sehingga kita tidak hanya melihat pelangi di mata tapi juga menyesap jauh ke dalam jiwa. Pelangi indah yang datang setelah badai menerpa.

Judul: Rainbow
Penulis: Eni Martini
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2013
Halaman: 201 halaman





24 September 2013



Alhamdulillah... acara seminar bedah buku Kitab Sakti Remadja Oenggoel telah sukses dilaksanakan. Kitab Sakti Remadja Oenggoel Goes to School, yang dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013 bertempat di aula YPIM SMP IT Al-Fatah Pekanbaru, diikuti oleh 50 orang siswa/i SMP IT AL-Fatah dan 50 orang siswa/i yang merupakan perwakilan dari 5 SMP lain di Minas.

Buku Kitab Sakti Remadja Oenggoel adalah buku motivasi remaja yang saya tulis duet dengan seorang novelis cantik Mbak Riawani Elyta yang saat ini berdomisili di Tanjung Pinang, Kepri. Buku ini membahas bagaimana kiat-kiat untuk menjadi remaja yang unggul tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Dimulai dari pengenalan diri, bagaimana melejitkan potensi diri secara optimal, cara memenej waktu dengan baik, dan bagaimana cara untuk sukses dalam mencapai cita-cita.

Sebelum acara dimulai, ada kata sambutan yang diberikan oleh perwakilan ketua Yayasan, utusan dari UPTD kecamatan Minas, dan kepala sekolah SMP IT Al-Fatah Minas. Kemudian acara resmi dibuka oleh bapak Miftah Farid, S.Kom selaku perwakilan dari UPTD Minas. Menurut Pak Miftah, kegiatan ini sangat bermanfaat  dan berguna bagi generasi-generasi muda dan beliau juga mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan pertama yang diadakan oleh SMP selama beliau bertugas di Kecamatan Minas.

SMP IT Al-Fatah sendiri adalah SMP baru, yang baru memiliki siswa/i angkatan pertama. Acara ini juga sebagai ajang silaturahmi dan perkenalan terhadap SMP lain yang ada di Minas. Saat saya baru sampai di sana setelah menempuh perjalanan kurang lebih sejam dari Pekanbaru, saya disambut oleh siswa/i yang berjumlah kurang lebih 50 orang.

Setalah menunggu beberapa saat, para undangan hadir, maka acara dimulai. Saat acara berlangsung, rasanya luar biasa, melihat antusias dari peserta seminar bedah buku. Mereka tidak hanya menyimak setiap materi dan video yang saya tanyangkan, tapi mereka juga aktif menjawab dan bertanya. Sehingga, waktu kurleb 2,5 jam terasa berlalu dengan cepat.

Saya berharap, semoga materi yang saya sampaikan bisa bermanfaat bagi siswa/i di sana. Semoga buku tersebut mampu memberikan masukan positif bagi perjalanan mereka dalam meraih impian masa depan. Terima kasih kepada yayasan, kepala sekolah (Bapak Darwin, S.Pd.I), ketua panitia (Ibu Anabella Puspitaloka, S.Pd), dan seluruh pihak yang telah terlibat dalam penyelenggaraan acara ini.

Baiklah, Kitab Sakti Remadja Oenggoel Goes To School Insya Allah akan ke sekolah-sekolah lainnya. Semoga acara-acara selanjutnya juga berjalan dengan lancar. Aamiin...


Perwakilan dari Yayasan

Bapak Miftah Farid, S.Kom

Bapak Darwin, S.Pd.I Kepsek SMP-IT Al-Fatah Minas


Semangat menjawab pertanyaan saya

Berpikir buat ngisi tantangan dari saya

Pada minta tanda tangan ^_^

Giliran yang perempuan buat minta tanda tangan

Bersama siswa/i SMP IT Al-Fatah Minas

Bersama guru-guru SMP IT Al-Fatah Minas








11 September 2013

Terkadang, rasa rindu untuk kembali mengajar itu datang. Melemparkan saya pada memori ketika pertama kali mengajar dulu, setelah menyelesaikan pendidikan S1. Pengalaman pertama memang tidak terlupakan, termasuk pengalaman pertama kali mengajar, kendati saya hanya 1 tahun mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) itu, tapi banyak pengalaman berharga yang saya peroleh. Kali pertama saya untuk mengaplikasikan ilmu yang telah saya gali di bangku perkuliahan.

Setelah resign mengajar di SMK, sembari melanjutkan kuliah S2, saya mengajar lagi sebagai dosen di sebuah sekolah tinggi. Kalau ditanya manakah yang lebih enak, mengajar anak-anak sekolah ataukah mahasiswa, maka saya akan menjawab keduanya enak, ada suka dukanya tersendiri. Namun, saya akhirnya memutuskan untuk resign lagi dan sampai sekarang menjadi ibu rumah tangga saja, sembari menulis dan mengurus usaha kecil-kecilan.

Jadi, tak heran kalau rasa rindu itu datang. Rindu untuk berdiri di depan kelas, menyaksikan tatapan-tatapan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu, diskusi-diskusi ringan, ah... memang dari dulu saya bercita-cita untuk menjadi seorang pengajar. Tapi, jangan salah sangka, sampai saat ini saya juga sangat menyukai peran saya sebagai seorang ibu rumah tangga tanpa aktivitas luar. Saya tetap mempunyai siswa didik, yaitu putri saya sendiri.

Banyak yang bertanya, kapan saya akan kembali mengajar, karena menurut mereka sangat disayangkan sekali, mengingat latar belakang pendidikan saya. Insya Allah saya akan mengajar kembali, tapi belum tahu kapan. Lagipula, ilmu saya tetap bisa ditransfer melalui tulisan, yang semoga saja bisa bermanfaat bagi pembacanya.

Baiklah temans, di bawah ini ada tulisan lawas tentang pengalaman saya mengajar pertama kali dulu, tahun 2007. Semoga ada ibroh yang bisa diambil dari pengalaman saya tersebut :)

---------------------------------------------------------------------------------------------

Hari itu adalah hari pertama saya mengajar. Seperti biasa saat sore hari akan ada obrolan hangat antara saya dan Ibu. Lalu mengalirlah cerita tentang pengalaman mengajar pertama saya hari ini. Ibu tersenyum, sepertinya beliau mulai paham kenapa tadi saya pulang dengan wajah yang sedikit ditekuk. Padahal sewaktu berangkat tadi pagi, saya begitu ceria dan bersemangat. Apakah ekspresi itu mengendap karena lelah atau menguap karena panas. Tidak.

Pagi itu saya masuk ke dalam kelas tempat saya mengajar dengan senyum sumringah. Memulai dengan perkenalan, sekaligus untuk mencairkan suasana. Namun, saya sedikit terperanjat ketika salah satu siswa yang menanyakan apakah saya anak magang, dan mengatakan bahwa saya masih terlihat terlalu muda dan lebih pantas untuk memakai seragam, lalu ikut bergabung duduk di bangku siswa seperti mereka. Saya hanya tersenyum, padahal jelas-jelas di papan tulis saya telah menuliskan nama lengkap saya beserta gelar pendidikan saya.

            Tidak masalah, barangkali mereka hanya bercanda. Barangkali juga itu adalah lelucon ”selamat datang” dari mereka untuk guru baru seperti saya. Namun, saat saya memulai pelajaran, mereka masih tidak serius dan menganggap saya seperti bukan seorang guru saja. Sebahagian besar dari mereka sama sekali tidak memperhatikan saya. Ada yang sibuk dengan handphone, baca komik, ngobrol, tidur, dan keluar-masuk kelas.

            Saya masih memaklumi, perlahan saya akan mencoba untuk membuat ”kesepakatan” selama saya sedang mengajar. Saya masih optimis bahwa saya mampu mengatur kelas ini dengan baik dan menciptakan suasana kondusif dalam kegiatan pembelajaran. Saya akan mengaplikasikan ilmu yang sudah saya gali saat masih duduk di bangku perkuliahan.

Selanjutnya apa yang terjadi, saat waktu istirahat tiba, saya bergabung dengan para guru di ruangan majlis guru. Di sana ada tiga orang guru yang baru mengajar, sama seperti saya, selebihnya guru ”senior”. Kami saling berbagi mengenai pengalaman mengajar pertama hari ini. Ternyata, untuk ketiga orang guru baru, sama sekali tidak ada masalah. Saya hanya tersenyum ketika tiba giliran saya yang harus bercerita. Salah satu guru ”senior” maklum, dia akhirnya menceritakan tentang kondisi kelas dan karakter siswa di kelas tersebut. Wah ternyata saya ditempatkan di kelas yang ”luar biasa”. Kelas yang dominan diisi oleh siswa-siswa yang dicap sebagai troublemaker.

Wah, perjuangan berat ini. Sepertinya tantangan memang sudah di depan mata. Saya sadar betul akan konsekuensi dari pilihan yang telah saya ambil. Memilih untuk mengajar di salah satu Sekolah Menengah Keguruan (SMK) Swasta, lalu ditempatkan di jurusan dan kelas yang ”istimewa”. Belum lagi dengan jadwal mengajar selama 6 hari dan total 29 jam.

Sebenarnya terselip juga sedikit rasa ragu, membayangkan perjuangan berat yang harus dilalui, mengingat beberapa orang guru sebelumnya menyerah kalah dan mengibarkan bendera putih. Tapi saya bukanlah termasuk kedalam golongan orang yang mudah menyerah, saya harus tetap optimis. Ini adalah jihad saya, bukan sekedar mentransfer ilmu tapi juga mendidik mereka.

Ibu masih tersenyum. Namun akhirnya ibu angkat bicara. Beliau berkata bahwa saya harus kembali meninjau ulang niat saya terjun ke dunia pendidikan. Apa motivasi terbesar saya untuk mengajar. Karena, kedua hal tersebut mampu menjawab segala keluhan yang mungkin terlontar. Saat ini yang dibutuhkan adalah guru yang ikhlas dan mampu berpikir positif. Dikatakan ikhlas adalah mengajar dan mendidik siswanya dengan sepenuh hati, tanpa adanya rasa terpaksa, dan mencintai profesinya. Semuanya akan tercermin dari cara dia mengajar. Sedangkan berpikir positif adalah berprasangka baik terhadap apapun, baik manusia maupun keadaan. Jadi kita harus mampu berpikir positif terhadap siswa, dengan menghargai berbagai macam karakter dan perbedaan dari mereka, tidak me-label mereka dengan sesuatu yang negatif, dan membuka diri untuk lebih mengenal pribadi mereka masing-masing.

Ibu benar, tentu saja, karena beliau sudah memiliki pengalaman mengajar hampir 25 tahun. Bahkan saya termotivasi untuk mengikuti jejak mulianya dengan menjadi seorang guru. Yang dalam filosofi jawa dikatakan bahwa guru merupakan akronim dari kata digugu dan ditiru. Dengan demikian, setiap perbuatan dan perkataan guru akan menjadi perhatian dari siswa dan masyarakat.

Saya sadar, bahwa yang terpenting adalah menjalin komunikasi secara baik dengan siswa, tidak hanya terbatas pada ruangan kelas saja, tapi juga di luar jam pelajaran. Memberikan motivasi kepada mereka tanpa adanya nada keras atau ancaman. Berusaha untuk mengenal lebih baik kepribadiannya dengan mencoba memahami latar belakang kehidupannya, lalu tidak mengkotak-kotakkan mereka, apalagi membandingkan mereka satu dengan lainnya.

Menakjubkan, saya mengaplikasikan ilmu yang telah ibu berikan, hasilnya luar biasa. Akhirnya semua aman terkendali. Ternyata benar, saya memang harus mengenal mereka terlebih dahulu. Mereka yang sangat heterogen, ada dari kalangan keluarga kelas menengah keatas, yang kurang perhatian dari orang tua. Ada juga dari keluarga kalangan menengah kebawah yang tinggal di lingkungan ”pasar” bahkan bekerja untuk ikut membantu perekonomian keluarga. Tentu saja mereka tidak bisa diperlakukan sama.

Kini, walaupun saya tidak mengajar mereka lagi. Hubungan kami tetap baik, bahkan mereka begitu sering mengunjungi saya dan masih meminta nasehat serta meminta saya untuk membantu kesulitan mereka dalam belajar. Sugguh pengalaman yang luar biasa bagi saya. Saya masih selalu tersenyum ketika mereka kembali menanyakan berapa usia saya. Saya memang masih muda, saya berhasil menamatkan kuliah dalam waktu 3,5 tahun saja dengan predikat cumlaude.  Langsung mendapatkan tawaran mengajar. Namun, saya selalu mengingatkan mereka untuk menghargai dan menghormati guru, tanpa memandang berapapun usianya.

Image

8 September 2013


Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan filosofi segelas air. Baiklah, tidak ada salahnya untuk sedikit mengulas filosofi tersebut. Saat sebuah gelas telah terisi penuh oleh air, maka apabila gelas tersebut kita tambahkan air lagi, yang terjadi adalah air di dalam gelas tersebut akan meluap, keluar, tumpah membasahi sekitarnya. Hal tersebut sering menjadi analogi bagi orang-orang yang selalu merasa penuh. Merasa dirinya lebih dari orang lain, merasa paling pintar, merasa mengetahui segalanya dan tak hendak untuk melihat dan mendengar.

Ya, melihat dan mendengar. Orang yang lebih memaksimalkan fungsi mulut dibandingkan fungsi mata dan telinganya bisa menjadi seseorang yang selalu merasa penuh. Dia tidak mencoba untuk berpikir mengapa Allah Swt memberikan satu mulut, dua mata, dan dua telinga. Ia menjadi orang yang tidak peka, sekalipun mungkin penglihatannya menangkap bagaimana reaksi orang di sekitarnya, dan telinganya mendengar bisik-bisik keluhan atas semua kata-katanya yang tak berujung.

Sebuah kebanggaan baginya bisa menjadi lebih dominan dan menunjukkan bahwa ia mempunyai power lebih dibandingkan orang lain. Padahal, orang lain memandangnya tak lebih dari seseorang yang egois atau orang yang haus akan pengakuan dan pujian. Sungguh sangat menyebalkan bukan, bila kita duduk satu meja dengan orang seperti itu, orang yang memposisikan kita sebagai pendengar amat setianya. Padahal, ocehan penyiar radio saja ada jeda lagu atau iklan.

Suatu hari, di sebuah desa yang sangat indah, seorang pria muda yang kariernya tengah melejit terlibat percakapan dengan seorang pria paruh baya. Pria muda itu mendominasi pembicaraan. Ia berbicara banyak hal tentang pencapaian-pencapaiannya dikarier dan finansial. Ia bangga bahwa diusianya yang masih muda, ia sudah mampu melakukan banyak hal. Bahkan ia mendramatisir beberapa ceritanya agar terkesan semakin WOW. Pria paruh baya tersebut mendengarkan dengan seksama setiap yang diucapkan oleh pria muda tersebut. Setelah puas bercerita, ibarat makan di sebuah hotel bintang 5, ia menanti dessert, penutup yang manis, yaitu ucapan kagum atau pujian dari pria paruh baya tersebut. Tapi apa yang terjadi, pria paruh baya tersebut hanya tersenyum lalu pamit pergi.

Alangkah kesalnya pemuda tadi, pujian dan decak kagum yang dia harapkan tidak kesampaian. Padahal siapalah orang tua itu, hanya orang desa yang tidak berpendidikan. Nah, pertanyaannya mengapa pria tua tadi tidak merespon apa-apa dan malah langsung pergi? Apa benar orang tua itu adalah orang yang tidak berpendidikan?.

Pemuda tersebut salah, hanya karena penampilannya yang biasa, ia mengira bahwa pria tua tersebut hanyalah orang desa yang tidak berpendidikan. Padahal, orang tua tadi ternyata adalah salah satu komisaris di perusahaan tempat pria muda tersebut bekerja, yang tentu saja sedikit banyak mengetahui tentang kariernya. Pria tua itu juga tengah liburan di sana.

Bagaimana? Bila kita berada di posisi pemuda tadi, tidakkah kita merasa malu. Terlalu mengedepankan sisi narsis kita kepada orang lain. Bahkan membumbui cerita agar terkesan semakin menarik dan dapat membuat orang untuk tinggal lebih lama mendengarkan setiap ocehan kita. Sangat disayangkan bukan, jika akhirnya yang kita terima bukanlah kekaguman tapi keprihatinan.

Lantas, bagaimana kita bisa belajar bila kita sudah merasa pintar?, tidakkah pernah mendengar sebuah istilah bahwa di atas langit masih ada langit?, atau jangan-jangan masih berkutat mencari jawaban manakah yang lebih hebat, apakah burung atau ikan?.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk kita mengasah penglihatan dan pendengaran. Kedua hal tersebut mampu mengaktifkan alaram empati kita terhadap sekitar. Belajarlah untuk menjadi pendengar, jangan hanya berbicara saja. Dengan mendengar, kita akan semakin mengetahui banyak hal. Kita tidak lagi merasa penuh, karena bagaimanapun, dunia ini terlalu luas untuk kita jelajahi sendiri, segala kejadian dalam hidup terlalu besar untuk kita tanggung sendiri.

Credit

7 September 2013

Khayalan atau disebut juga dengan angan-angan. Siapa yang tidak pernah berkhayal, baik menghayalkan hal yang logis maupun yang tidak logis. 

Berbicara tentang khayalan, saya jadi ingat hadist berikut:

Anas ra berkata, “Nabi membuat garis seraya bersabda, ‘Ini manusia, ini angan-angannya, sedangkan ini ajalnya. Ketika dia sedang berada dalam angan-angan, tiba-tiba datanglah kepadanya garisnya yang paling dekat.’ Maksud dari ‘garisnya yang paling dekat’ adalah ajal kematiannya.” (HR. Bukhari)

Nah, hadist tersebut mengingatkan kita untuk tidak menghabiskan waktu dengan berkhayal atau berangan-angan, sesuatu yang tidak mendekatkan kita pada amalan-amalan untuk bekal dalam menghadapi kematian yang bisa datang tiba-tiba.

Khayalan yang membuat kita menjadi sering mengucap "seandainya" "andai saja" "kalau saja" dan lain sebagainya, baik cerminan dari rasa penyesalan akan masa yang telah lewat, maupun bentuk tidak adanya rasa syukur dan ridho atas apa yang telah Allah Swt berikan. Sayangnya, tidak diikuti dengan usaha untuk memperbaiki diri atau meminta ampunan.

Tapi temans... semua itu berproses. Ada suatu masa, dimana kita mulai mengerti bagaimana menerima gunungan kenyataan pahit itu lebih berharga daripada sepotong khayalan atau angan-angan indah. Nah, bukannya tidak pernah berkhayal atau berangan-angan. Dahulu, saya juga melakukannya. Tapi kini, saya lebih suka memiliki impian, sesuatu yang ingin kita raih dengan usaha-usaha tertentu. Saya bermimpi kelak saya bisa bertemu dengan nabi Muhammad Saw, bisa menatapnya setiap saat. Uswatun hasanah yang hanya pantas dijadikan satu-satunya idola. Duuuuuuh... gemeteran saya ngetiknya, mata mendadak mengembun, haruuuuu, rindu.... sekali pada Rasulullah. Apakah saya bisa memantaskan diri agar impian saya tersebut tercapai. Tapi temans, hanya Allah Swt yang mengetahui seberapa pantaskah, sebagai manusia kita hanya berdoa dan berusaha.

Allahumma Solli 'Ala Sayyidina Muhammad... 




“Khayalan ini diikutsertakan dalam Giveaway Khayalanku oleh Cah Kesesi Ayutea”





Siapa yang tidak kenal dengan pecal, karedok, dan lotek. Bisa jadi itu adalah makanan sayur-sayuran segar favorit keluarga temans. Sayuran mentah atau sayuran yang dikukus sebentar, ditambah dengan kuah yang nikmat, terlebih bahan-bahan kuah tersebut diulek langsung ketika kita hendak menyantapnya.

Nah, kali ini saya akan berbagi sebuah resep olahan sayur yang nggak kalah fresh dari olahan yang telah saya sebutkan di atas. Mungkin belum banyak yang mengetahui tentang Kabu, begitu biasanya makanan ini disebut. Tapi, bagi masyarakat kampar dan sekitarnya atau orang-orang keturunan daerah tersebut yang bermukim di Pekanbaru, sudah tidak asing lagi dengan Kabu. Kabu menjadi salah satu hidangan wajib saat berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Baiklah, saya akan langsung menjabarkan bahan-bahan dan cara membuatnya. Selain bahan-bahannya yang mudah untuk ditemukan, cara membuatnya juga tidak sulit.

Bahan:
1. Kol 
2. Timun
3. Lasa (direndam dengan air panas)
4. Kacang Tanah (disangrai, lalu haluskan)

Bumbu
1. Bawang putih
2. Cabe
3. Jahe
4. Ketumbar
5. Garam secukupnya
6. Jeruk nipis 
7. Santan kelapa segar (kelapa yang telah diparut diperas dengan air matang) 

Cara Membuatnya:

Cuci kol dan timun hingga bersih. Kol diiris halus, demikian juga dengan timun dipotong kecil-kecil. kemudian masukkan ke dalam piring bersama dengan lasa yang telah direndam dengan air panas. Haluskan bumbu yang terdiri dari bawang putih, cabe, jahe, dan sedikit garam. Kemudian sangrai kacang tanah bersama dengan ketumbar, lalu haluskan. Campurkan bumbu yang telah dihaluskan tadi dengan kacang tanah dan ketumbar yang juga telah dihaluskan ke dalam mangkuk yang berisi santan segar. Kacau hingga rata, setelah itu siramkan ke atas sayuran dan lasa yang telah disusun di dalam piring. terakhir, beri perasan jeruk nipis di atasnya.




Mohon maaf tidak menggunakan takaran, karena benar-benar tergantung selera. Apabila ingin lebih berkuah, maka kita bisa membuat kuahnya lebih banyak. Demikian juga untuk rasa pedasnya.

Bagaimana? mudahkan cara membuatnya. Silahkan dicoba, siapa tahu nanti malah menjadi hidangan favorit keluarga :)

6 September 2013

Saat ini, usia saya 27 Tahun. Bila Allah Swt masih memberikan saya usia, maka 3 tahun lagi saya akan menginjak usia 30. Selama 27 tahun saya hidup di dunia ini, banyak hal yang sudah saya lewati. Alhamdulillah, sampai saat ini saya masih percaya bahwa Allah Swt selalu memberikan yang terbaik untuk saya, semoga demikian seterusnya. Bagaimanapun, hidup ini hanyalah pergiliran tempat berpijak, yang memungkinkan posisi kita untuk berada di atas dan juga di bawah. Bahkan saya sudah merasakan bagaimana begitu cepatnya perpindahan itu terjadi.

Jika berbicara tentang pencapaian, banyak hal yang tak mampu saya urai. Begitu banyaknya nikmat Allah Swt, apapun itu termasuk kemudahan-kemudahan yang terjadi di dalam hidup saya. Saya bersyukur karena Allah memberikan kemudahan bagi saya dalam menuntut ilmu. Memberikan kesempatan saya untuk mengecap pendidikan S2. Allah juga membuat saya sempat merasakan bagaimana rasanya memiliki jabatan sebagai Direktur Utama sebuah perusahaan di usia saya yang ke 19 tahun. Lalu, yang menakjubkan adalah Allah memberikan saya kesempatan untuk menjadi seorang istri dan seorang ibu. Tak hanya itu, satu-persatu list dalam proposal hidup saya di acc oleh Allah, yang salah satunya adalah menulis buku.

Lantas, apakah tak pernah ada kesulitan dalam hidup saya? Ah yang benar saja. Setiap kita pasti diuji, demikian juga saya. Di awal tadi, saya sudah katakan bahwa saya sudah merasakan bagaimana cepatnya perpindahan posisi, dari atas ke bawah. Tapi Allah Swt tetap Maha Baik, karena Ia tetap memberikan saya nikmat berupa rasa syukur dan ikhlas, ridha atas apapun ketentuanNya. Bukan malah berbalik menyalahkan Allah atas segala "penderitaan" yang pernah saya rasa. Nikmat yang lebih berharga dibandingkan apapun juga. Nikmat yang membuat saya semakin mendekatkan diri padaNya.

Maka, ketika ditanya apa saja yang ingin saya capai diusia saya yang ke 30 tahun nanti, mungkin kuliah S3 tak lagi menjadi prioritas, tak muluk-muluk, saya ingin Allah Swt ridha kepada saya, tetap memberikan saya nikmat dalam iman (islam). Intinya lebih kepada peningkatan kualitas rohani, menjauhkan saya dari penyakit wahn (cinta dunia, takut mati). Bagaimanapun, kita tak pernah tahu sampai kapan kita masih diberi kesempatan untuk hidup.

Allah Swt sudah memberikan saya kesempatan untuk merasakan hal-hal yang mungkin masih berada di dalam angan-angan orang lain. Allah Swt sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk merasakam hal-hal yang mungkin bagi orang lain untuk sekedar memikirnya saja tidak mau. Semuanya bermuara pada pelajaran berharga yang tak akan pernah saya temui di bangku sekolahan atau perkuliahan. Semuanya menempa saya menjadi pribadi yang Insya Allah lebih baik lagi. Menyadari bahwa setiap kita diuji dan tidak ada yang lebih berat antara satu dengan yang lainnya, melainkan telah diukur kadarnya oleh Allah. So, selalu berbaik sangkalah kepada Allah Swt.

Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Aida.MA