Aku
mencintaimu dengan sederhana
Memberimu
yang aku mampu,
Dan
terbaik dari yang ku miliki..
Lelaki tua itu duduk di atas kursi
roda, di sampingnya berdiri seorang perempuan tua yang bermata teduh dan memiliki
senyuman yang menawan. Perempuan itu mengupas buah jeruk dan memberikannya
kepada lelaki tua itu, yang tak lain adalah suaminya. Suami yang sudah
menikahinya selama hampir 40 tahun. Pernikahan yang berlangsung karena
perjodohan orang tua. Dari pernikahan itu telah hadir 5 orang anak yang sukses,
dan 8 orang cucu yang luar biasa. Lelaki itu lumpuh saat masih berada diusia
produktif dan harus menafkahi istri dan anak-anaknya. Kecelakaan yang
menimpanya membuat sang istri harus megambil sebahagian perannya sebagai
pencari nafkah sekaligus mengurus suami dan anak-anaknya.
Di lokasi yang berbeda, seorang suami
yang berangkat ke kantor tanpa mengecup kening istrinya atau sapaan sayang
setelah sang istri menyalaminya Seorang suami yang terkesan kaku dan tidak
ekspresif. Namun, sepulang dari kantor, sang suami tersebut langsung sibuk
memandikan anak mereka, lalu menyapu halaman dan menyirami tanaman..
Kedua kisah tadi memberikan makna yang
dalam. Bahwa mencintai tidak harus selalu dengan mengobral kata-kata romantis,
meski itu diperlukan. Bukankah cinta itu lebih aplikatif, ada dalam kerja-kerja
nyata dan realistis. Bukan hanya terbatas dalam tata bahasa yang mempesona
diantara sepasang manusia yaitu suami istri. Bekerja mencari nafkah untuk
keluarga adalah cinta, tetap setia dan merawat suami yang sakit merupakan wujud
cinta, membantu meringankan pekerjaan istri juga berarti cinta. Dan segala
pekerjaan yang melahirkan rasa senang orang lain kepada kita itu merupakan
benih-benih cinta. Dakwah para Nabi kepada umat manusia merupakan aplikasi dari
cinta. Terciptanya alam ini, kata Ibnu Qayyim, karena kehendak dan cinta.
Cinta itu indah. Mencintai tanba
terbatas oleh ruang dan waktu. Manifestasi dari cinta yang menjelma dalam kondisi dan
situasi apapun. Tidak juga berbentuk benda, tetapi sebuah rasa. Karena itulah
walau pun kepayahan, seorang ibu tetap melahirkan, menyusui, dan membesarkan
bayinya. Seorang ayah rela membanting tulang dan memeras keringat saat mencari
nafkah. Dua orang yang berteman mau berkorban apa saja untuk sahabatnya. Tetapi
Islam buru-buru memberi peringatan, bahwa saling menyintai ada aturannya,
“teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali
mereka yang bertakwa.” (Q.S. 43: 67) Ya, apa dan siapa pun yang kita cintai
harus berada dalam koridor takwa.
v Hakekat Mencintai
Manusia
ditakdirkan oleh Allah Swt untuk memiliki kekuatan cinta. Mencintai apa saja
yang memang bisa membahagiakan dirinya, menyegarkan pikirannya, menentramkan
hatinya, dan menggerakkan semangatnya. Terlebih lagi cinta antara sepasang
suami istri yang mengikat perjanjian setara dengan perjanjian para nabi yang
mampu menggoncangkan arsy.
v Cinta Karena Allah dan Rasul-Nya
Berapa
kali telinga kita mendengar konsep mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya?.
Konsep ini terpetakan sebagai mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah dan
rasul-Nya dan membenci apa-apa yang dibenci Allah dan rasul-Nya. Hebatnya lagi
konsep ini, apa-apa yg dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya telah
tertuang baik tersirat maupun tersurat
dalam al Qur’an maupun hadits-hadist rasul. Dan inilah konsep mencintai yang
sangat gamblang. Salah satunya yang dijelaskan di dalam surah Al-Baqarah (2) :
165 :
”Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah ; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah”.
Maka
sudah sangat jelas, bahwa cinta yang paling utama adalah cinta yang kita
persembahkan kepada Allah. Dr.’Aid bin Abdullah al-Qarni mengutip pendapatnya
Imam Ahmad dalam kitab Al-Zhud yang menyebutkan riwayat bahwa Allah Swt
berfirman : ”Kamu sangat mengherankan,
wahai anak Adam. Akulah yang menciptakan kamu, namun kamu mengabdi kepada
selainKu. Akulah yang memberi rezeki kepadamu, namun kamu bersyukur kepada
selainKu. Aku memcintaimu dengan berbagai kenikmatan dan Aku tidak
membutuhkanmu, namun kamu memperbuat KebencianKu dengan berbagai kemaksiatan,
sedang kamu membutuhkanKu. Dan, kebaikanku turun kepadamu sedangkan keburukanmu
naik kepadaKu”.
Jadi
intinya, agar efek dari kekuatan cinta kita terhadap suami/istri mencapai
ridhaNya, maka lapisi dengan keimanan dan ketakwaan kepadaNya, jangan menjadi
posesif tapi proposionallah dalam mencintai. Dengan mencintai pasangan kita
karena Allah, maka kita akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga cinta kita
dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan berumah tangga.
v Mencintai dengan Sederhana
·
Tidak berlebihan dalam mencintai
Seperti yang
telah dibahas sebelumnya. Mencintai secara proposional dan tidak berlebihan.
Karena bisa saja sikap posesif itu hadir sehingga terjadi ketidaknyamanan dalam
mengekspresikan cinta kepada pasangan, baik berupa cemburu yang berlebihan
maupun sikap overprotektif.
·
Mencintai dengan ikhlas dari lubuk hati yang terdalam
Cinta yang
diberikan kepada pasangan memang lahir dari dalam hati dan diliputi rasa
ikhlas. Maka dapat diaplikasikan dengan segala perbuatan yang lemah lembut,
saling pengertian, saling perhatian, walaupun dalam hal-hal kecil.
·
Mencintai apa adanya
Bukankah
dengan menikah berarti kita telah berkomitmen terhadap pasangan. Dan artinya
juga bahwa kita harus siap untuk menerima segala kelebihan dan kekurangannya.
Nah, kekurangan mungkin merupakan suatu upaya kita untuk mampu berlapang dada, bukankah
pasangan kita adalah manusia biasa yang mempunyai potensi hina dan mulia. Maka
bersabar dan berusaha untuk selalu mengingatkan, saling bahu membahu dalam
kebaikan demi terwujudnya keluarga yang SAMARA.
Dengan demikian. Bingkailah cinta yang sederhana
menjadi luar biasa dalam koridorNya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar
berkata : Rasulullah saw bersabda,”Sebaik-baik
amal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”.